Mohon tunggu...
Zakarias Wahyu
Zakarias Wahyu Mohon Tunggu... Lainnya - zacharia

saya buat cerpen hanya untuk tugas B.Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Sebut Apa Sajalah

25 November 2020   09:56 Diperbarui: 25 November 2020   10:01 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

"Mau coba ini ndak, Wan? Aku masak sendiri." Bayu menyodorkan makanan yang menurutku menjijikan, sangat-sangat menjijikkan. Makanan itu lebih layak untuk anjing pikirku. Pisang goreng berbalut selai coklat yang terlalu banyak, bertabur keju yang entah masih layak di makan atau tidak. Tapi tidak, anjing pun masih pikir-pikir maakan ini. Aku menolaknya. Bayu menarik makanannya, dan memakannya dengan lahap. Kulihat bibirnya membuka lebar-lebar, melahap satu potongan pisang utuh. Coklat yang kebanyakan meluber ke mana-mana, menetes dari mulutnya yang menganga. Keju yang bertaburan mencuat ke sembarang arah. Mulut Bayu sekarang penuh dengan coklat. Disekanya coklat tersebut dengan tangan. Tangan yang telah berubah jadi coklat ia balurkan ke celana. Ya Tuhan! Aku benar-benar tak nyaman berada di sebelah orang menjijikkan ini!

Aku pergi ke luar kelas menuju ruang UKS. Bersembunyi aku di ruang UKS sampai bel pulang sekolah. Kututup mulut seorang penjaga UKS yang sedang piket dengan uang sepuluh ribu agar ia tak mengadukanku kepada guru yang sedang mengajar di kelas.

Hari-hari setelah itu aku tetap menjaga jarak dari Seno. Aku tak duduk bersebelahan lagi dengan Bayu. Kini aku duduk bersebelahan dengan Warno, siswa yang kehidupannya normal-normal saja. Di tempat Cak Mat masih sering kulihat Seno makan bakso bersama teman-temannya. "Beruntunglah Seno masih punya teman. Sedangkan aku? Temanku hanya buku sekarang, cih!" Kuhindari tempat Cak Mat biasa mangkal. Jika sedang tak ada Seno di sana, barulah aku bisa memesan satu mangkok bakso dengan perasaan tenang.

Sulastri diam-diam masih aku perhatikan dari jauh, dia tak lagi meminjam laptop kepadaku saat di perpustakaan. Bahkan ia tak menyapaku saat kami bersua di perpustakaan. Sungguh malang nian nasibku ini, kini hanya aku dan perasaanku yang ada. Tak lagi aku sering ke perpustakaan setelah mengetahui Sulastri menghindar setiap bertemu denganku. Aku sekarang lebih sering berada di kantin, memesan sepiring siomay. Tak lagi ada yang bisa kuajak bicara, paling-paling hanya Bayu yang kuajak bicara di kantin, itu pun gara-gara kepepet. Jika aku masih ada Seno, tak sudi aku mengobrol dengan Bayu.

Tepat setelah seminggu terhitung sejak aku memilih untuk menjaga jarak dari Seno, keajaiban datang. Sepulang sekolah, aku berniat untuk pergi ke toko buku. Tak ada yang ingin kubeli, di sana aku hanya ingin menyegarkan pikiran dengan melihat-lihat aura yang dipancarkan dari buku. Aku terkejut mengetahui Sulastri datang dengan terburu-buru. Ia tarik lenganku, menjauh dari rak buku berisikan buku-buku novel best seller. Mukaku memerah. Tanganku bergetar tak karuan. Bibirku jadi mati rasa. Lidahku seakan memiliki tulang dan kaku untuk digerakkan. Hampir saja air seni menetes, untung saja bisa aku kendalikan. Kulihat Sulastri membuka mulut. Gadis ini memang istimewa. Kupikir kecantikan Annelies yang digambarkan Pram melalui Minke bisa aku lihat secara nyata dan jelas. "Tidak, dia lebih cantik dan lebih beruntung dari Ann, Minke!"

"Wan... Aku udah tau semuanya..." ucap dara itu yang membuat diri ini semakin seperti batang pohon.


"U...ud...udah tau a...a...apa?"

"Seno udah jelasin semuanya." Tunggu, Seno sudah menjelaskan semuanya? Dia menjelaskan apa? Untuk apa dia melakukan itu? Pertanyaan itu tak berani aku katakan, karena lidahku benar-benar sudah punya tulang sekarang!

"Kenapa diam saja? Kamu mau di sini sampai besok? Ayoh ikut aku!" Sulastri tiba-tiba mengajakku ke sebuah kafe di dekat toko buku itu. Dia menjelaskan semua apa yang telah Seno jelaskan kepadanya. Bahkan dia meniru gaya Seno yang selalu menggaruk ubun-ubunnya ketika menjelaskan sesuatu yang penting. "Aku ternyata salah menghakimimu waktu itu, Wan. Ternyata kamu masih Wawan yang aku kenal," imbuh Sulastri setelah dia puas menertawakan gelagat Seno yang aneh ketika menjelaskan sesuatu yang penting.

Kini aku tahu mengapa Sulastri sering meminjam laptop kepadaku. Ia selalu berharap kepadaku untuk berkenalan dengannya. Namun itu tak pernah terjadi, karena aku selalu gugup dan mati gaya ketika berhadap-hadapan dengan Sulastri. Dia tau namaku dari seorang temannya, "Namanya Wa-wan, dia itu siswa yang aneh, Las. Kayaknya dia itu ikut sekte pemuja kutang paus biru deh, aku curiga," kata Sulastri tentang bagaimana caranya ia tau namaku. Dan aku juga tau, ternyata waktu itu dia sengaja memanggilku dengan nama yang salah. Dia ingin tau nama panjangku rupanya. Kini aku lega, Sulastri benar-benar menjadi temanku sekarang. Tapi, masih ada satu masalah lain. Masalah mengenai tali persahabatan yang sempat putus dengan Seno.

Kuantarkan Sulastri dengan motor menuju rumahnya, dia mengucapkan terima kasih, lalu masuk ke dalam rumah. Kulihat ayah Sulastri ada di depan pintu menunggu kepulangan anak gadisnya. Kutundukkan sedikit kepalaku tanda salam dan penghormatan kepada ayah Sulastri. Ayah sulastri malah memasang muka seram. Kumis tebalnya seakan berkata, "Kukunyah lehermu kalau kau apa-apa kan anak gadisku!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun