Usulan Trump agar NATO mengenakan tarif tinggi pada China bisa mengguncang geopolitik dunia. Apa dampaknya bagi Indonesia yang berada di tengah pusaran konflik global ini?
Tarif impor dijadikan senjata, energi dipakai sebagai alat tekan. Dunia bergerak ke arah baru, dan Indonesia tidak bisa berdiam diri. Lalu, apakah ini ancaman atau justru peluang bagi kita?
Konflik global mungkin terjadi jauh di Eropa, tetapi getarannya bisa langsung terasa di pom bensin, pasar, bahkan dapur rumah tangga Indonesia.
Pendahuluan
Seruan Donald Trump agar NATO menghentikan impor minyak Rusia dan mengenakan tarif tinggi pada China menambah bab baru dalam ketegangan geopolitik global. Menurut laporan Kompas (2025) Trumph menyebut tarif sebesar 50-100 persen pada produk China sebagai "senjata ekonomi" untuk menekan dukungan Beijing terhadap Rusia.
Di permukaan, gagasan ini terdengar sederhana, tekan Rusia lewat energi dan tekan China lewat perdagangan. Namun di balik itu, terdapat implikasi luas yang tidak hanya mengguncang Eropa, melainkan juga Asia, termasuk Indonesia.
Trump dan "Senjata Tarif"
Trump melihat energi sebagai urat nadi Rusia. Dengan memutus pembeli minyak, pemasukan Rusia akan tercekik. Sementara China, yang menjadi mitra utama Rusia, dipaksa "membayar harga" melalui tarif impor. Logikanya jelas: Rusia akan kehilangan dana perang, China akan enggan mendukung, dan Ukraina mendapat napas.
Tetapi kenyataannya jauh lebih kompleks. Tidak semua anggota NATO bisa serta-merta berhenti membeli minyak Rusia. Hungaria, Slovakia, bahkan Turki masih sangat bergantung. Demikian pula tarif pada China, yang bisa memicu perang dagang skala penuh.
Indonesia di Tengah Pusaran
Bagi Indonesia, usulan ini bukan sekadar berita luar negeri. Ada empat hal krusial yang langsung menyentuh kepentingan nasional: