Mohon tunggu...
Jay Z. Pai
Jay Z. Pai Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menulis saja

suka musik dan jalan - jalan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Intelektual Mati di Kota

19 Juni 2021   16:23 Diperbarui: 19 Juni 2021   16:47 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kota-kota besar tidak hanya menyumbang angka bagi hitungan gedung-gedung megah, kemewahan pusat bisnis belanja barang juga jasa. Bukan hanya perkara angka bagi keuntungan yang masuk di kantong segelintir elit investor plus 'pemerintah'. Namun di sisi lain, kota juga menyumbang angka bagi adanya sejumlah kekerasan, pembungkaman dan monopoli.

Pembangunan dan kekerasan ibarat dua sisi mata uang. Dalam pembangunan yang tidak kolaboratif serta berpihak, selalu ada tumbal. Kasus penggusuran dan konflik komunal hasil mutasi akibat perebutan akses publik antara pribumi versus pendatang, selalu menjadi catatan kelam pembangunan sebuah kota. Pada kota, gedung-gedung bertingkat nan megah seringkali berdiri di atas kuburan sumber-sumber penghidupan dan mimpi orang-orang kecil.  

Pula pada kota, tak jarang suara-suara yang berbeda di catat oleh negara bukan sebagai aspirasi melainkan provokasi. Kritik dilihat sebagai nama lain dari upaya instabilitas. Sementara, pembangunan membutuhkan stabilitas bagi kemulusan-kemulusan investasi. 

Instabilitas hanya akan menghambat pembangunan, dan mimpi menjadi kota besar akan sirna. Agar mimpi itu bisa menjadi kenyataan pilihannya hanya satu: kritik dibungkam dengan cara direpresi. Pada kota yang represif, kritik ibarat kepulan asap pabrik yang mengotori udara sehingga layak dibersihkan.

Pada awal abad ke 20, di Kota Batavia (sekarang Jakarta) sejumlah wilayah dibangun dengan identitas kelompok masing-masing: Kampung Arab, Kampung Cina (pecinaan), dll. Sekilas kategorisasi wilayah ini dilakukan agar mempermudah identifikasi. Namun bagi mesin-mesin sensorik yang bekerja di lembaga intelijen Hindia-Belanda, ini adalah ekses untuk kemudahan memeriksa dan memata-matai.

Beberapa kritik keras pada pemerintah kolonial Hindia-Belanda berakhir dengan penangkapan dan pengasingan. Pulau buruh menjadi saksi atas kebijakan itu. Sejumlah intelektual-pejuang seperti Soekarno dan Hatta pernah melewati musim-musim sunyi selama pengasingan di sana. Sebagian bahkan di buang tanpa melalui proses pengadilan.

Di balik perkembangan Kota Batavia, terdapat mesin-mesin sensorik kolonial yang bertugas memata-matai, adapula mesin polisional yang bekerja untuk membungkam kritik para intelektual.

Kota yang represif pun cenderung monopolistik. Ia cenderung anti-perbedaan, apalagi perbedaan itu mengancam kepentingan pembangunan. Pada kota yang monopolistik, perbedaan di lihat bagai sebentuk 'keanehan', ibarat Socrates yang berjalan tanpa alas kaki di tengah kota besar bernama Athena. Bagi Socrates itu bukan keanehan, tapi bagi ke-umum-an, apa yang dilakukan Socrates adalah sejenis keanehan. Kota cenderung mengikuti kehendak umum.

Persoalannya, apakah kehendak umum benar lahir dari 'kebanyakan' atau hasil monopoli tafsir atas nama dan demi kepentingan pembangunan kota. Dengan kata lain, penyeragaman terhadap keanehan tidak selamanya berasal dari kesepakatan semua orang, kebanyakan lahir dari segelintir orang.

Pada level ide dan imajinasi, monopoli terjadi secara sitematis dimana ide dan imajinasi atas kota dibangun dalam narasi yang searah. Desentralisasi hanya berlaku pada konteks pengelolaan administrasi-birokrasi, sedang sisanya terpusat: sentralistik. Termasuk memonopoli ruang publik (public sphere). Harapannya, ruang publik mestinya menjadi sarana komunikasi terbuka dan bersifat dialogis. Kenyataanya, kota yang monopolistik mempraktekan sebaliknya: statis dan cenderung eksklusif.

Otomatis, kota pun sulit menjadi ladang subur bagi tumbuh-kembang inovasi dan kreatifitas baru. Represifitas dan monopolistik total yang berlaku di kota seperti racun yang membunuh Socrates. Ide dan gagasan yang menjadi senjata intelektual akhirnya mati sejak dalam pikiran.

Eksistensi kota yang represif dan monopolistik adalah salah satu contoh nyata pembunuhan intelektual. Dalam situasi yang mengenaskan itu, tiga pembunuh berdarah dingin ikut dalam permainan. Mereka datang dari stasiun berbeda-beda, menumpang kereta dan segera memasuki kota.

Tiga Pembunuh Berdarah Dingin

Tiga pembunuh berdarah dingin yang ikut bertanggung jawab atas kematian intelektual di kota ialah Kampus, Nalar Momentual dan Nalar Kekuasaan. Yang pertama, kematian intelektual disebabkan oleh sistem perguruan tinggi yang berselingkuh dengan janji pembangunan. Kedua, adanya nalar momentual mengakibatkan terjadinya kemiskinan pembaruan. Terakhir, kematian intelektual disebabkan oleh ketergantungan parah pada jejaring kuasa dan modal.

Kampus

Pada abad 19 di Eropa telah pecah apa yang kita sebut sebagai revolusi industri. Revolusi industri membawa kemajuan-kemajuan. Beberapa teknologi barupun bermunculan. Sebagian digunakan untuk kepentingan pembangunan, sebagian lagi digunakan untuk kepentingan perang. Perang dunia I dan II menghasilkan kerugian besar bagi negara yang terlibat. Kematian dan kerusakan fisik akibat perang tidak bisa dihindari.

Negara-negara pasca perang mulai berpikir untuk mengembalikan kondisi infrastruktur materil seperti keuangan dan fisik negara. Segala cara dilakukan termasuk perundingan. Para elit dominan melakukan pertemuan di Jalan Bretton Woods - Amerika Serikat pada tahun 1944 dan menghasilkan beberapa kesepakatan yang diantaranya: kemunculan beberapa lembaga donor dan kelahiran ideologi pembangunan 'developmentalisme'.

Dalam rangka pembangunan untuk sementara waktu perang ditangguhkan. Paradigma ekspansionis (perebutan wilayah) sebuah negara berubah menjadi paradigma developmentalis. Ide pembangunanisme datang merasuki berbagai wilayah di dunia termasuk negara pasca-kolonial seperti Indonesia.

Pada negara-negara berkembang, pembangunan datang dengan ide-ide kemajuan kota dan janji-janji kesuksesan. Salah satu janji pembangunan di kota-kota besar adalah terbukanya lapangan pekerjaan. Kampus melihat itu sebagai peluang yang harus dimanfaatkan. 

Setelahnya, beberapa petinggi kampus membangun kerja sama (MoU) dengan pemerintah plus investor. Lembaga perguruan tinggi kejuruan mulai berdiri dan memilih fokus pada program studi kejuruan seperti bisnis perhotelan, pariwisata dan keteknikan. Secara tidak langsung, kampus menjadi penyedia tenaga kerja untuk pasar kerja pembangunan.

Kampanye pasar kerja dengan gaji yang memuaskan menjadi headline di kampus-kampus kejuruan. Di India, beberapa kampus ternama membuka ruang wawancara pekerjaan antara mahasiswa dan perusahaan besar, bahkan sebelum ujian kelulusan dilakukan. Kampus menyuntikan ideologi kesuksesan kepada para sarjana dalam bayangan tiga tahap: kuliah, meraih gelar, kemudian kerja pada perusahaan besar yang ada di kota. Proses ini berulang seperti lingkaran setan, tidak pernah berhenti. 

Para sarjana yang pulang kampung membawa cerita kesuksesan dibalut dengan janji pasar kerja di Kota. Cerita itu segera menghiasi mimpi para pemuda desa. Paginya mereka berbondong-bondong ke kota dengan membawa bekal satu-satunya: ideologi kesuksesan tiga tahap. Lembaga perguruan tinggi segera sesak dengan pendaftar calon sarjana baru.

Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Mereka yang berhasil merealisasi mimpi sukses menjadi kelas menengah baru. Sedangkan mereka yang gagal mencoba mengadu nasib dan mengisi daftar hadir orang-orang kalah di kota. Dalam relasi mutualisme antara kampus dan pembangunan kota, ketimpangan kelas semakin meruncing.

Sementara di dalam kampus, para dosen yang diharapkan menjadi intelektual-ilmuwan harus disibukkan dengan pengisian borang akreditasi, pembuatan jurnal dan projek penelitian untuk mengejar angka kredit. Kesibukan jenis ini akhirnya menyita waktu mereka untuk mencari pembaruan. Tidak bisa dihindari: kampus menjadi penjara intelektual.

Nalar Momentual: Kemiskinan Pembaruan

Apa yang dimaksud dengan kemiskinan pembaruan adalah praktek daur ulang wacana dan isu. Reproduksi wacana saat ini hanyalah ganti kulit dari yang lalu-lalu. Salah satu penyebab utama dari kejadian ini ialah adanya nalar momentual yang mengendap pada intelektual perkotaan.

Nalar momentual semacam istilah untuk suatu aktivitas intelektual (jika bisa dibilang demikian) yang lahir dari respon-respon sesaat, bersifat parsial dan reaksioner. Nalar ini hanya sekadar merespon peristiwa, apalagi peristiwa ramai yang dirayakan oleh kerumunan. Sehingganya, nalar jenis ini tidak mampu melampaui peristiwa. Sedangkan melampaui peristiwa mensyaratkan suatu pembacaan yang utuh atas realitas yang sedang berjalan, tidak sepotong-sepotong.

Melampaui peristiwa bisa diandaikan berada pada tradisi logika strukturalis-konstruktifis bukan totalitas esensialis. Maksudnya, bukan semata melihat hakikat di balik peristiwa, lebih daripada itu, bagaimana hubungan-hubungan suatu persitiwa kemudian di bangun menjadi satu rangkaian peristiwa yang utuh. Hal ini berangkat dari satu asumsi dasar bahwa: peristiwa tidak berdiri sendiri. Apa sebab?, alasannya sederhana, jika hari ini adalah bentukan masa lalu, maka masa depan adalah bentukan (dibentuk) hari ini. Jadi, apa yang dibayangkan di masa depan bisa di baca lewat kenyataan hari ini.

Karena terbiasa dengan nalar yang mengikut peristiwa akhirnya yang dilakukan hanya mendaur ulang. Yang baru hanyalah cover namun isinya sama. Intelektual perkotaan menyangka telah bergerak maju padahal mereka hanya berjalan ditempat. Bahkan pada titik tertentu cenderung mengulangi kesalahan masa lalu. Jika intelektual itu dinamis dalam artian bergerak maka sekali lagi nalar momentual berhasil membunuhnya.  

Nalar Kekuasaan: Ketergantungan Pada Kuasa dan Modal

Kematian intelektual selanjutnya disebabkan oleh ketergantungan yang parah pada kekuasaan dan modal. Ahmad T. Kuru dalam buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan memberikan satu unit analisis yang cukup menarik: apa yang dia sebut sebagai persekutuan ulama dan negara.

Dalam penelitiannya, setelah abad ke 10 M beberapa intelektual muslim mulai disekolahkan pada lembaga Pendidikan bentukan negara. Setelah menerima kelulusan dengan bekal ilmu yang mumpuni mereka pun mulai bekerja untuk negara. Ada yang menjadi penasihat agama kerajaan, wazir pemerintah dll. Para penasihat agama mengeluarkan fatwa yang mendukung kebijakan-kebijakan negara. Ada pula yang menjadi tameng intelektual bagi negara.

Berbeda dengan para intelektual muslim periode abad 8 -- 10 M yang mampu menghasilkan penemuan-penemuan baru bagi peradaban. Bagi Kuru, keberhasilan ini bisa dicapai karena adanya independensi ulama. Mereka mampu membangun sumber daya ekonomi sendiri. Mereka adalah ulama sekaligus pedagang. Sehingga penelitian mampu di danai secara mandiri tanpa tergantung dari bantuan negara.     

Daniel Dhakidae, dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, menjelaskan secara gamblang bagaimana cendekiawan berada dalam hubungan antara kekuasaan, modal dan kebudayaan pada masa orde baru. Soeharto yang kala itu mulai kehilangan dukungan politik, menggandeng islam kelas menengah dengan membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang isinya campur aduk: dimana kalangan militer, teknokrat dan intelektual muslim di gabung jadi satu.

Di sisi lain, kalangan intelektual muslim yang mulai kehilangan pegangan memutuskan ikut main dalam politik. Mereka yang sadar menegosiasi kepentingan politik Soeharto dan berhasil menjadi aktor di lingkar istana. Yang tidak sadar berakhir menjadi 'kuda tunggangan'.  

Sebelum itu, para ekonom lulusan Universitas Barkeley Amerika Serikat dipulangkan kemudian menjadi penasihat ekonomi orde baru. Mereka di sekolahkan oleh negara lewat beasiswa luar negeri dan di kenal dengan nama Mafia Barkeley. Para ekonom muda ini memberi masukan yang kemudian dieksekusi oleh Soeharto menjadi sejumlah kebijakan, salah satunya UU Penanaman Modal Asing.

Hubungan-hubungan ini semacam praktek potong kompas bagi para intelektual untuk sukses, meraih jabatan dan posisi strategis tanpa takut menjadi kaki tangan negara. Kemandirian yang lemah membuat para intelektual tergantung pada modal negara. Konsekuensi logis dari penyerahan independensi di hadapan negara ialah intervensi. Proyek penelitian pun diterima sebagai orderan, hasilnya bisa diprediksi: mendukung agenda-agenda pembangunan negara.

Karena sekadar menunggu orderan dari negara akibatnya kerja-kerja intelektual menjadi mandeg. Ketergantungan pada kekuasaan membuat intelektual menjadi pemalas kelas kakap. Pembaruan-pembaruan intelektual yang dibayangkan tidak pernah terjadi. Sebaliknya menambah penyebab dari kemiskinan pembaruan.  

***

Pada akhirnya intelektual dalam kota besar yang dikepung oleh tiga pembunuh berdarah dingin tidak bisa kemana-mana. Bukan karena ketiadaan jalan keluar, melainkan ketiadaan keberanian untuk melakukan lompatan, menghindari peluru dari tiga pembunuh, mengumpulkan amunisi lalu balas menembak.   

*catatan: Tulisan ini bukan dalam rangka mendikotomi antara desa dan kota. ini hanyalah sekadar catatan keresahan untuk menjadi pengingat setidaknya bagi diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun