Mohon tunggu...
Jay Z. Pai
Jay Z. Pai Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menulis saja

suka musik dan jalan - jalan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Intelektual Mati di Kota

19 Juni 2021   16:23 Diperbarui: 19 Juni 2021   16:47 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Otomatis, kota pun sulit menjadi ladang subur bagi tumbuh-kembang inovasi dan kreatifitas baru. Represifitas dan monopolistik total yang berlaku di kota seperti racun yang membunuh Socrates. Ide dan gagasan yang menjadi senjata intelektual akhirnya mati sejak dalam pikiran.

Eksistensi kota yang represif dan monopolistik adalah salah satu contoh nyata pembunuhan intelektual. Dalam situasi yang mengenaskan itu, tiga pembunuh berdarah dingin ikut dalam permainan. Mereka datang dari stasiun berbeda-beda, menumpang kereta dan segera memasuki kota.

Tiga Pembunuh Berdarah Dingin

Tiga pembunuh berdarah dingin yang ikut bertanggung jawab atas kematian intelektual di kota ialah Kampus, Nalar Momentual dan Nalar Kekuasaan. Yang pertama, kematian intelektual disebabkan oleh sistem perguruan tinggi yang berselingkuh dengan janji pembangunan. Kedua, adanya nalar momentual mengakibatkan terjadinya kemiskinan pembaruan. Terakhir, kematian intelektual disebabkan oleh ketergantungan parah pada jejaring kuasa dan modal.

Kampus

Pada abad 19 di Eropa telah pecah apa yang kita sebut sebagai revolusi industri. Revolusi industri membawa kemajuan-kemajuan. Beberapa teknologi barupun bermunculan. Sebagian digunakan untuk kepentingan pembangunan, sebagian lagi digunakan untuk kepentingan perang. Perang dunia I dan II menghasilkan kerugian besar bagi negara yang terlibat. Kematian dan kerusakan fisik akibat perang tidak bisa dihindari.

Negara-negara pasca perang mulai berpikir untuk mengembalikan kondisi infrastruktur materil seperti keuangan dan fisik negara. Segala cara dilakukan termasuk perundingan. Para elit dominan melakukan pertemuan di Jalan Bretton Woods - Amerika Serikat pada tahun 1944 dan menghasilkan beberapa kesepakatan yang diantaranya: kemunculan beberapa lembaga donor dan kelahiran ideologi pembangunan 'developmentalisme'.

Dalam rangka pembangunan untuk sementara waktu perang ditangguhkan. Paradigma ekspansionis (perebutan wilayah) sebuah negara berubah menjadi paradigma developmentalis. Ide pembangunanisme datang merasuki berbagai wilayah di dunia termasuk negara pasca-kolonial seperti Indonesia.

Pada negara-negara berkembang, pembangunan datang dengan ide-ide kemajuan kota dan janji-janji kesuksesan. Salah satu janji pembangunan di kota-kota besar adalah terbukanya lapangan pekerjaan. Kampus melihat itu sebagai peluang yang harus dimanfaatkan. 

Setelahnya, beberapa petinggi kampus membangun kerja sama (MoU) dengan pemerintah plus investor. Lembaga perguruan tinggi kejuruan mulai berdiri dan memilih fokus pada program studi kejuruan seperti bisnis perhotelan, pariwisata dan keteknikan. Secara tidak langsung, kampus menjadi penyedia tenaga kerja untuk pasar kerja pembangunan.

Kampanye pasar kerja dengan gaji yang memuaskan menjadi headline di kampus-kampus kejuruan. Di India, beberapa kampus ternama membuka ruang wawancara pekerjaan antara mahasiswa dan perusahaan besar, bahkan sebelum ujian kelulusan dilakukan. Kampus menyuntikan ideologi kesuksesan kepada para sarjana dalam bayangan tiga tahap: kuliah, meraih gelar, kemudian kerja pada perusahaan besar yang ada di kota. Proses ini berulang seperti lingkaran setan, tidak pernah berhenti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun