Mohon tunggu...
Jay Z. Pai
Jay Z. Pai Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menulis saja

suka musik dan jalan - jalan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Intelektual Mati di Kota

19 Juni 2021   16:23 Diperbarui: 19 Juni 2021   16:47 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Para sarjana yang pulang kampung membawa cerita kesuksesan dibalut dengan janji pasar kerja di Kota. Cerita itu segera menghiasi mimpi para pemuda desa. Paginya mereka berbondong-bondong ke kota dengan membawa bekal satu-satunya: ideologi kesuksesan tiga tahap. Lembaga perguruan tinggi segera sesak dengan pendaftar calon sarjana baru.

Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Mereka yang berhasil merealisasi mimpi sukses menjadi kelas menengah baru. Sedangkan mereka yang gagal mencoba mengadu nasib dan mengisi daftar hadir orang-orang kalah di kota. Dalam relasi mutualisme antara kampus dan pembangunan kota, ketimpangan kelas semakin meruncing.

Sementara di dalam kampus, para dosen yang diharapkan menjadi intelektual-ilmuwan harus disibukkan dengan pengisian borang akreditasi, pembuatan jurnal dan projek penelitian untuk mengejar angka kredit. Kesibukan jenis ini akhirnya menyita waktu mereka untuk mencari pembaruan. Tidak bisa dihindari: kampus menjadi penjara intelektual.

Nalar Momentual: Kemiskinan Pembaruan

Apa yang dimaksud dengan kemiskinan pembaruan adalah praktek daur ulang wacana dan isu. Reproduksi wacana saat ini hanyalah ganti kulit dari yang lalu-lalu. Salah satu penyebab utama dari kejadian ini ialah adanya nalar momentual yang mengendap pada intelektual perkotaan.

Nalar momentual semacam istilah untuk suatu aktivitas intelektual (jika bisa dibilang demikian) yang lahir dari respon-respon sesaat, bersifat parsial dan reaksioner. Nalar ini hanya sekadar merespon peristiwa, apalagi peristiwa ramai yang dirayakan oleh kerumunan. Sehingganya, nalar jenis ini tidak mampu melampaui peristiwa. Sedangkan melampaui peristiwa mensyaratkan suatu pembacaan yang utuh atas realitas yang sedang berjalan, tidak sepotong-sepotong.

Melampaui peristiwa bisa diandaikan berada pada tradisi logika strukturalis-konstruktifis bukan totalitas esensialis. Maksudnya, bukan semata melihat hakikat di balik peristiwa, lebih daripada itu, bagaimana hubungan-hubungan suatu persitiwa kemudian di bangun menjadi satu rangkaian peristiwa yang utuh. Hal ini berangkat dari satu asumsi dasar bahwa: peristiwa tidak berdiri sendiri. Apa sebab?, alasannya sederhana, jika hari ini adalah bentukan masa lalu, maka masa depan adalah bentukan (dibentuk) hari ini. Jadi, apa yang dibayangkan di masa depan bisa di baca lewat kenyataan hari ini.

Karena terbiasa dengan nalar yang mengikut peristiwa akhirnya yang dilakukan hanya mendaur ulang. Yang baru hanyalah cover namun isinya sama. Intelektual perkotaan menyangka telah bergerak maju padahal mereka hanya berjalan ditempat. Bahkan pada titik tertentu cenderung mengulangi kesalahan masa lalu. Jika intelektual itu dinamis dalam artian bergerak maka sekali lagi nalar momentual berhasil membunuhnya.  

Nalar Kekuasaan: Ketergantungan Pada Kuasa dan Modal

Kematian intelektual selanjutnya disebabkan oleh ketergantungan yang parah pada kekuasaan dan modal. Ahmad T. Kuru dalam buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan memberikan satu unit analisis yang cukup menarik: apa yang dia sebut sebagai persekutuan ulama dan negara.

Dalam penelitiannya, setelah abad ke 10 M beberapa intelektual muslim mulai disekolahkan pada lembaga Pendidikan bentukan negara. Setelah menerima kelulusan dengan bekal ilmu yang mumpuni mereka pun mulai bekerja untuk negara. Ada yang menjadi penasihat agama kerajaan, wazir pemerintah dll. Para penasihat agama mengeluarkan fatwa yang mendukung kebijakan-kebijakan negara. Ada pula yang menjadi tameng intelektual bagi negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun