Mohon tunggu...
daffa zaim
daffa zaim Mohon Tunggu... UIN Walisongo Semarang

Fokus dalam pemberitaan kegiatan humaniora dan seni

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengupas Polemik Rezim Prabowo Gibran: Demonstrasi Hingga Pelanggaran HAM

22 September 2025   18:17 Diperbarui: 22 September 2025   18:17 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadaan Indonesia dewasa ini menuai pelbagai persoalan kompleks yang datang dari berbagai isu serta kebijakan pemerintah. Bahwa sampai pada tulisan ini dibuat, terdapat setidaknya satu atau dua perasaan yang mendalam dan tidak dapat diutarakan hanya dengan satu atau dua patah kalimat saja. Dengan demikian, terdorong dari rasa empati yang masih hidup dalam diri, dibuatlah kalimat-kalimat yang datang langsung dari pemikiran terhadap negeri ini.

Berangkat dengan menjunjung rasa keadilan yang mengacu terhadap pemikiran John S. Mill bahwa dampak dari setiap tindakan atas nama 'adil' harus dibubuhi kesenangan yang menjadi taraf kebenaran. Relevansi hal tersebut terhadap persoalan yang terjadi di rezim pemerintahan sekarang, banyak kebijakan yang mengunggah emosi publik. Mulai dari Makan Bergizi Gratis (MBG), efisiensi anggaran, kenaikan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250% di Pati, dan dengan klimaks pada kenaikan tunjangan rumah anggota DPR sebesar 50 juta rupiah. Di sisi lain, keburukan public relation dalam menanggapi kritik publik menjadi topping yang problematik. Bupati Sudewo adalah bukti prima atas kebenaran teori keadilan utilitarianisme.

Walau tak cukup mengurai kronologi kausalitas yang terjadi di bulan Agustus --September dengan ringkas, akan dilakukan metode top down yakni kebijakan atau pernyataan yang dikeluarkan pemerintah vs tanggapan rakyat dan tuntutan yang dikeluarkan. Penguraian ini akan dilakukan secara kronologis.

Yang paling utama bahwa sejak sebelum Paslon Prabowo -- Gibran diangkat secara resmi sebagai Presiden dan Wakilnya, jual janji politik yang diumbar agar diingat masyarakat adalah program Makan Siang Gratis yang selanjutnya diubah nama menjadi Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk seluruh sekolah dasar yang ada di Indonesia. Realisasinya sampai saat ini tidak semanis apa yang diucapkan pada waktu kampanye. Tercatat kasus keracunan anak akibat konsumsi MBG sudah terjadi di beberapa daerah, seperti 223 anak di Bogor pada bulan Mei 2025 (Hidayat, 2025), hampir 1.000 siswa keracunan di Jogja (Safitri & Prabowo, 2025),  dan laporan terbaru sebanyak 27 siswa keracunan di Banten (Darmawan & Dzulfaroh, 2025). Hal ini menjadi satu dari banyak kebijakan yang menuai kontroversial. Terlepas dari program yang menjadi beban APBN 2025 sebesar Rp71 triliun ini, evaluasi dampaknya sangat minim jika dinilai dari kasus yang terus terjadi (Saptati, 2025).

Begitu pun efisiensi anggaran melalui Inpres No. 1 Tahun 2025 memicu keributan terkait pemangkasan anggaran yang dinilai ugal-ugalan. Idealnya bahwa pemangkasan pengeluaran dari APBN 2025 dapat menyokong finansial program-program prioritas termasuk MBG yang sudah disebutkan problematik nya di atas. Namun realisasi pemangkasan ini juga menjalar ke dalam lini pendidikan, dari beban operasional dan non-operasional. Bentuk-bentuk pembatasan anggaran menghambat kemajuan bidang pendidikan seperti studi banding, pembatasan sokongan uang perlombaan akademik dan non akademik, serta seminar dan workshop. Jika memakai kacamata analitis dengan melihat dampak real yang terjadi di masyarakat. Tentu, tak heran jika umpatan Indonesia Gelap beredar dewasa ini. Walaupun mungkin pemerintah mengalami bentrokan batin antara pemangkasan anggaran dan keutamaan pendidikan sebagai transformasi bangsa, namun hasil pun tak kunjung sinkron antara kedua komitmen tersebut.

Kebijakan kontroversial lain datang dari Sudewo yang mengeluarkan ketetapan kenaikan PBB-P2 sebesar 250% guna peningkatan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik (Lathif, 2025). Usut punya usut, Bupati Pati itu menantang rakyat sebagai respons penolakan terhadap kebijakannya dengan ucapan, "bawa 50 ribu massa dan keputusan tidak akan berubah." Tentu pernyataan provokatif yang keluar dari mulut Bupati menunjukkan seberapa rendah pemahamannya terhadap rakyatnya. Mengapa begitu? Partisipasi rakyat yang minim tidak membuka mata pembuat kebijakan bahwa Pendapatan Asli Daerah Pati hanya sekitar 14,5% dari APBD yang dengan kenaikan PBB-P2 tidak merefleksikan kebijakan yang responsif (Rumbo, 2025). Belum pula dinilai dari skill sosialisasi yang sangat tidak merakyat. Kenyataan ini tentu tidak dapat diterima yang berujung pada demo besar warga Pati dengan tuntutan pembatalan kenaikan pajak dan pengunduran Sudewo dari jabatan Bupati. Hasilnya, ludah ditelan sendiri, kebijakan pun ditolak dengan emosi warga Pati yang sudah melunjak.

Lalu sebelum jalan cerita menempati resolusi, klimaks yang terjadi adalah kenaikan tunjangan rumah DPR RI sebesar 50 juta rupiah.  Pemberian tunjangan sebesar 50 juta rupiah per bulan dilakukan setelah anggota dewan tidak lagi mendapatkan fasilitas rumah dinas di daerah Kalibata. Kebijakan ini menyoroti amarah publik, sebab keadaan ekonomi Indonesia di angka yang tidak baik-baik saja, dengan rata-rata UMP hanya sebesar Rp3 juta rupiah pada tahun 2024. Akibatnya, demonstrasi besar-besaran digelar di berbagai wilayah di Indonesia sebagai tanggapan publik terhadap kebijakan dan sikap pemerintah selama ini.

Konsekuensi Sosiologis atas Kebijakan dan Sikap Pejabat Publik

Awal demonstrasi yang dimulai sejak 25 Agustus dilakukan oleh mahasiswa, kaum buruh, dan aktivis lainnya menyuarakan tuntutan untuk membatalkan kenaikan tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan DPR RI dan beberapa tuntutan lain seperti pembubaran DPR dengan dekrit Presiden seperti era Gus Dur serta pembahasan RUU Peramapasan Aset. Hasil dari proses demokrasi ini dianggap sebagai hal yang buruk dan radikal oleh sebagian pejabat publik. Sikap yang dikeluarkan oleh Ahmad Sahroni dengan ujaran provokatif terhadap demonstran menjadi contoh prima.

"Yang bilang bubarkan DPR adalah orang tolol sedunia," ujar Sahroni, Mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI.

Dalam hal ini, kemarahan publik merupakan tanggapan yang sebanding. Sebab, saat pernyataan tersebut diucapkan, ia masuk dalam kategori orang dengan excessive power dan pemegang status terhormat. Bahwa bukti tunjangan kehormatan yang diterima dewan wakil rakyat merupakan manifestasi dari status tersebut. Oleh karena itu, sebagai orang dengan jabatan sebagai wakil rakyat sangat tidak elok untuk melontarkan kalimat yang diucapkan tersebut. Dengan lain hal, perbaikan kalimat tersebut dapat diubah menjadi kalimat yang bersifat edukatif dan informatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun