Sejak awal masuk kuliah, saya sering merasa tertinggal dari teman-teman. Banyak dari mereka yang sudah terbiasa dengan laboratorium, paham istilah, dan luwes menggunakan peralatan praktikum. Sementara saya? Baru mengenal semua itu di bangku kuliah.
Saat praktikum pertama, teman-teman saya terlihat percaya diri saat menggunakan buret, sedangkan saya masih takut dan bingung saat menggunakannya. Ketika mereka cepat mengerjakan laporan, saya masih sibuk mencari rumus dasar. Rasanya seperti berjalan di jalur yang sama, tapi kecepatan saya jauh lebih lambat.
Perasaan itu membuat saya sering membandingkan diri. Melihat teman yang paham lebih cepat, aktif di organisasi, atau bahkan sudah merancang topik penelitian sejak jauh-jauh hari, saya jadi bertanya-tanya: “Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?” Insecure dan overthinking datang silih berganti, sampai-sampai saya kehilangan mood belajar.
Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai belajar menerima kenyataan. Saya sadar bahwa setiap orang memang punya titik awal yang berbeda. Ada yang sudah mengenal kimia sejak lama, ada yang baru belajar saat kuliah. Ada yang bisa berlari cepat, ada yang butuh berjalan pelan. Dan itu tidak apa-apa.
Kutipan dari Theodore Roosevelt sangat melekat di pikiran saya:
“Comparison is the thief of joy.”
Saya merasa benar adanya—semakin sering membandingkan diri, semakin sulit menemukan kebahagiaan. Dari situlah saya berusaha berhenti mengukur kemampuan dengan standar orang lain, dan mulai fokus pada perkembangan diri sendiri. Everyone has their own race, dan saya harus menghargai lintasan saya sendiri.
Perlahan, saya mulai mencoba hal-hal kecil. Saya mulai mencari dan membaca materi sebelum kelas atau praktikum, mencari referensi tambahan untuk laporan praktikum dan tugas-tugas, serta mulai menyiapkan berbagai catatan untuk ujian. Hasilnya, meski tidak selalu sempurna, saya merasa lebih percaya diri karena tahu saya benar-benar berusaha. Pengalaman kecil seperti itu membuat saya sadar bahwa progress tidak harus besar, asal konsisten.
Kini saya berada di semester tujuh. Kalau dulu saya hanya sibuk memikirkan ketertinggalan, mungkin saya tidak akan sampai di titik ini. Justru karena perjalanan saya tidak mudah, saya belajar lebih sabar, lebih tekun, dan lebih menghargai setiap langkah kecil yang membawa saya maju.
Saya semakin yakin bahwa kuliah dan hidup secara umum, bukan perlombaan tentang siapa yang paling cepat sampai. Seperti kata pepatah Jepang:
“Jangan takut berjalan lambat, takutlah jika berhenti.”
Ya, saya mungkin berjalan lebih lambat dari orang lain, tapi yang penting saya tidak berhenti. Saya tetap melangkah, meski pelan, dan itu sudah cukup. Karena pada akhirnya, semua orang punya garis finish-nya masing-masing, dan waktunya pun berbeda.