Mohon tunggu...
Zahri S. Musahadah
Zahri S. Musahadah Mohon Tunggu... Freelancer Tutor B. Jerman

Menulis adalah salah satu cara berteriak pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi Haji: Akhir dari Pengkultusan Tokoh Agama?

12 September 2025   12:59 Diperbarui: 12 September 2025   12:59 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ramai beberapa waktu terakhir, dugaan korupsi di tubuh Kementerian Agama memunculkan estimasi yang cukup mencengangkan, yakni sekitar Rp1 triliun. Tidak main-main, korupsi ini menyasar kuota haji. Diketahui, kasus bermula saat DPR membentuk Pansus Angket Haji dan menemukan kejanggalan pada pembagian kuota tambahan haji yang tidak sesuai dengan amanat undang-undang. Pemerintah Saudi memberikan kuota tambahan sebanyak 20.000, yang semestinya dimaksimalkan untuk haji reguler sesuai aturan. Kenyataannya, tambahan kuota tersebut justru dibagi 50:50 (10.000 reguler : 10.000 khusus).
Sensitivitas publik meningkat, terutama di kalangan calon jemaah yang telah menunggu belasan tahun. Publik mulai mempertanyakan, bagaimana bisa Kementerian Agama---yang menjadi payung kehidupan beragama, diisi oleh tokoh agama, dan mengerti perkara agama---justru melakukan pelanggaran yang bertentangan dengan nilai agama itu sendiri. Publik merasa dikhianati. Jika lembaga yang menaungi urusan agama tidak lagi bisa dipercaya, ke mana masyarakat harus berteduh?
Kasus korupsi haji bukanlah satu-satunya skandal yang melibatkan pejabat Kementerian Agama. Sebelumnya tercatat kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji dan dana operasional menteri, pengadaan Al-Qur'an dan laboratorium komputer, suap jual beli jabatan pimpinan tinggi di Kemenag, hingga dugaan korupsi dana bantuan operasional pesantren semasa pandemi. Hadirnya dugaan korupsi haji ini menambah kekecewaan terhadap institusi yang seharusnya menjaga integritas keagamaan.
Kebenaran melalui Manipulasi Doktrin Agama
Perbuatan amoral di lingkungan religius sering kali berakar pada penggunaan doktrin agama sebagai legitimasi atas tindakan menyimpang. Jika kita melihat ke belakang, hampir seluruh kasus pelecehan seksual di pesantren menggunakan dalih "berkah guru" atau "ridha guru untuk memperoleh ridha Tuhan". Bahkan, ada praktik hukuman yang tidak manusiawi, seperti meminum air cucian kaki yang dianggap sebagai berkah.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain pun terdapat banyak kasus penyimpangan serupa, seperti sekte Children of God di Amerika Serikat atau Shoko Asahara dengan Aum Shinrikyo di Tokyo. Kasus pelecehan seksual dan manipulasi ajaran agama menjadi pola yang berulang.
Catatan pelanggaran kemanusiaan juga muncul dalam bentuk pembakaran gereja, pengusiran warga minoritas dengan alasan akidah menyimpang, hingga Bom Bali. Semua ini mencoreng wajah kehidupan beragama, ketika tokoh agama berperan dalam menyampaikan doktrin yang dipelintir.
Membaca Kebenaran: Perspektif Al-Ghazali dan Ibn Rushd
Doktrin agama yang dijadikan legitimasi atas tindakan menyimpang membuat kita bertanya: apakah doktrin agama itu maha benar, atau bagaimana sesungguhnya kebenaran dan sumber kebenaran itu?
Imam Al-Ghazali dalam karyanya Tahafut al-Falasifah berpendapat bahwa akal memiliki keterbatasan, sehingga kebenaran mutlak hanya bersumber dari wahyu Tuhan. Berbeda dengan Ibn Rushd, yang menilai bahwa wahyu Tuhan adalah panduan moral dan syariat, yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan akal. Jika ada pertentangan, maka perlu dilakukan reinterpretasi.
Dengan demikian, kebenaran wahyu dapat dipahami sebagai konsensus dan panduan bagi akal dalam menuntun tindakan. Fungsinya, ketika ada perilaku yang tidak sesuai dengan panduan ini, akal harus bertanya secara kritis, dimulai dengan pertanyaan sederhana: mengapa?
Bahaya Pengkultusan Tokoh Agama
Pengkultusan terhadap tokoh agama memainkan peranan penting dalam abainya pengawasan publik. Tokoh agama hanyalah aktor penyampai ajaran, bukan wujud dari doktrin atau wahyu Tuhan itu sendiri. Jika tokoh agama dianggap sebagai manusia setengah dewa, maka segala tindakan mereka akan mudah diaminkan, sehingga lahirlah deretan peristiwa kelam sebagaimana yang terjadi.
Kasus korupsi haji hanyalah pemantik yang mempercepat "unrespect" publik terhadap tokoh agama, setelah deretan kasus lain sebelumnya. Belum lagi, masyarakat kerap disuguhi kehidupan sebagian tokoh agama yang terlihat mewah. Jika dicermati, panggung politik pun sering melibatkan tokoh agama untuk meraup suara.
Sebagai bangsa yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, agama adalah pusat dari berbagai aspek kehidupan. Karena itu, tokoh agama memegang peran vital. Namun, sering kali sensitivitas agama dipermainkan, bukan oleh agama itu sendiri, melainkan oleh tokoh yang kurang sadar akan tanggung jawabnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kini, pengkultusan terhadap tokoh agama tampaknya mulai meredup. Publik semakin mencari sosok yang benar-benar hadir bersama rakyat kecil, tanpa jarak dan sekat. Sosok yang menyatu dengan rakyat, yang bergerak bukan demi kepentingan pribadi atau politik, melainkan demi rakyat itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun