Mungkin itu sebabnya, pejabat yang rajin membaca tampak lebih tenang dan bijak berbicara. Ia tidak asal mengeluarkan kata, karena tahu setiap diksi bisa menjadi kebijakan dan setiap kebijakan adalah bentuk tanggung jawab bahasa.
Kalau boleh merekomendasikan, mungkin pejabat kita perlu membaca:
"Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi" karya Teun A. van Dijk  agar paham bagaimana bahasa bisa menindas tanpa terlihat.
"Negeri Para Bedebah" karya Tere Liye agar tahu bagaimana sistem bisa busuk bukan karena rakyatnya, tapi karena bahasanya.
Dan tentu saja, "Catatan Pinggir" Goenawan Mohamad agar mereka belajar menulis dengan hati dan berpikir dengan kepala dingin.
Mungkin kita tidak sedang kekurangan pejabat cerdas. Kita hanya kekurangan pejabat yang mau membaca. Karena sebelum bisa memimpin rakyat, seorang pemimpin harus bisa memimpin pikirannya dan sebelum bisa memimpin pikiran, ia harus terlebih dulu menguasai bahasanya.
Bahasa yang baik lahir dari pikiran yang jernih.
Dan pikiran yang jernih lahir dari bacaan yang dalam.
Jadi, mungkin kita bukan hanya darurat baca pejabat. Tapi lebih dalam dari itu mungkin kita sedang darurat berpikir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI