"Bahasa mencerminkan pikiran."
Kalimat itu sering diucapkan dosen linguistik saya di kampus. Â Semakin saya perhatikan cara sebagian pejabat berbicara di publik, semakin saya sadar mungkin masalah terbesar mereka bukan sekadar kurang empati, tapi kurang membaca.
Karena bagaimana seseorang berpikir, bergagasan, dan menyusun kalimat, semuanya berakar dari apa yang ia baca.
Lihatlah bagaimana sebagian pejabat berbicara di depan kamera banyak yang gagap, defensif, dan suka bermain diksi untuk menutupi ketidaktahuan. Kata-kata seperti "klarifikasi", "hoaks", "narasi negatif", atau "oknum" sering diulang tanpa makna yang utuh.
Bahasa mereka kehilangan kedalaman, seperti kotak kosong yang berisik. Dan di situlah masalahnya ketika bahasa kehilangan isi, kebijakan ikut kehilangan arah.
Seorang pejabat yang miskin bacaan akan berpikir dalam kalimat pendek, reaktif, dangkal, dan cepat lupa konteks. Ia terbiasa menjawab persoalan rakyat dengan slogan, bukan dengan argumen.
Padahal, bahasa bukan sekadar alat bicara. Ia adalah alat berpikir. Orang yang terbiasa membaca buku terbiasa menata kalimat dalam pikirannya; menimbang makna, mencari padanan, menyadari bahwa setiap kata punya konsekuensi. Itulah kemampuan yang membuat seorang pemimpin bisa melihat persoalan dari banyak sisi.
Dalam kajian Analisis Wacana Kritis, bahasa selalu mencerminkan posisi kuasa. Cara pejabat berbicara menunjukkan bagaimana ia melihat rakyatnya. Ketika bahasa yang keluar kering, merendahkan, atau penuh jargon teknokratik, itu tanda bahwa jarak antara penguasa dan rakyat semakin lebar.
Pejabat yang gemar membaca, sebaliknya, punya sensitivitas semantik yaitu kepekaan terhadap kata dan makna.
Ia tahu kapan harus berkata "rakyat", bukan "stakeholder".
Ia paham bedanya antara "dengar" dan "mendengar".
Ia sadar bahwa "transparansi" tidak sama dengan "publikasi".
Kemampuan seperti itu tidak lahir dari pelatihan singkat. Hal itu tumbuh dari kebiasaan membaca dan mengolah bahasa sesuatu yang kini tampak langka di antara pejabat.
Sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, saya percaya cara pejabat memahami bahasa akan menentukan cara mereka memahami realitas.
Bahasa yang miskin makna melahirkan kebijakan yang miskin arah. Bahasa yang rumit melahirkan birokrasi yang rumit. Sebaliknya, bahasa yang jernih dan terbaca lahir dari pikiran yang terlatih oleh bacaan.
Mungkin itu sebabnya, pejabat yang rajin membaca tampak lebih tenang dan bijak berbicara. Ia tidak asal mengeluarkan kata, karena tahu setiap diksi bisa menjadi kebijakan dan setiap kebijakan adalah bentuk tanggung jawab bahasa.
Kalau boleh merekomendasikan, mungkin pejabat kita perlu membaca:
"Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi" karya Teun A. van Dijk  agar paham bagaimana bahasa bisa menindas tanpa terlihat.
"Negeri Para Bedebah" karya Tere Liye agar tahu bagaimana sistem bisa busuk bukan karena rakyatnya, tapi karena bahasanya.
Dan tentu saja, "Catatan Pinggir" Goenawan Mohamad agar mereka belajar menulis dengan hati dan berpikir dengan kepala dingin.
Mungkin kita tidak sedang kekurangan pejabat cerdas. Kita hanya kekurangan pejabat yang mau membaca. Karena sebelum bisa memimpin rakyat, seorang pemimpin harus bisa memimpin pikirannya dan sebelum bisa memimpin pikiran, ia harus terlebih dulu menguasai bahasanya.
Bahasa yang baik lahir dari pikiran yang jernih.
Dan pikiran yang jernih lahir dari bacaan yang dalam.
Jadi, mungkin kita bukan hanya darurat baca pejabat. Tapi lebih dalam dari itu mungkin kita sedang darurat berpikir.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI