Dalam era demokrasi yang semakin matang, kampanye politik dan literasi politik dianggap sebagai pilar utama dalam membangun fondasi demokrasi yang bermartabat.Â
Pernyataan dari Muhammad Julijanto, seorang Dosen Hukum Ekonomi Syariah, tentang pentingnya kampanye beradab dan literasi politik sebagai strategi meningkatkan kualitas demokrasi patut diapresiasi.Â
Namun, seiring dengan perkembangan zaman, perluasan wawasan, serta pengalaman empiris di lapangan, terdapat sudut pandang kontroversial dan anti mainstream terkait kampanye politik, khususnya di lingkungan kampus.
Tanggapan ini mencoba untuk melihat lebih jauh tentang dampak dan implikasi kampanye politik di kampus, sebagai respons terhadap pandangan bahwa kampanye di lembaga pendidikan dapat dianggap sebagai sarana pendidikan politik yang berhasil.Â
Meskipun kampanye di kampus telah diizinkan dengan regulasi yang baru, pertanyaan mendasar muncul terkait netralitas kampus, kemampuan mahasiswa untuk mengkritisi, dan dampaknya terhadap pemahaman politik masyarakat.Â
Oleh karena itu, tulisan ini akan merumuskan masalah-masalah esensial terkait kampanye di kampus serta memberikan pengantar mengenai kompleksitas perdebatan ini.
Dalam menghadapi fenomena kampanye di kampus, beberapa rumusan masalah perlu diperhatikan:
Bagaimana dampak kampanye di kampus terhadap netralitas lembaga pendidikan dan kemampuan mahasiswa untuk mengkritisi gagasan politik?
Sejauh mana kampanye di kampus dapat dianggap sebagai pendidikan politik yang berhasil, mengingat adanya perbedaan antara wacana idealisme dan realitas praktik politik?
Bagaimana peran kampus sebagai lembaga pendidikan dalam membentuk masyarakat politik yang kritis dan beradab?
Kampanye di Kampus: Sebuah Paradoks
Pernyataan Julijanto yang menyebut kampanye di kampus sebagai bentuk pendidikan politik yang berhasil patut dipertanyakan.Â
Secara normatif, kampanye di kampus melanggar undang-undang yang menetapkan kampus sebagai tempat netral tanpa kegiatan politik praktis.Â
Meski telah ada perubahan aturan, perlu diperhatikan bahwa kampanye di kampus tetap memerlukan izin lembaga pendidikan.
Otoritas intelektual dan otonomi kampus, sebagaimana disebutkan Julijanto, memunculkan pertanyaan tentang kemandirian kampus dalam mengelola aktivitas politik.Â
Apakah kampus benar-benar mampu mempertahankan netralitasnya, ataukah kampanye di kampus dapat menjadi sarana manipulasi politik?
Kritik terhadap kampanye di kampus bukanlah semata-mata mengenai aspek hukum, tetapi juga menyangkut esensi pendidikan politik.Â
Konsep kampanye di kampus seharusnya tidak hanya berkutat pada literasi politik dan pemahaman hak dan kewajiban kewarganegaraan.Â
Melainkan, hal tersebut seharusnya menggali kritisisme mahasiswa terhadap gagasan dan konsep politik yang diusung oleh partai politik.
Pentingnya Kritisisme dan Dialog
Kampanye di kampus dapat menjadi sarana pembelajaran politik yang memberikan literasi politik yang baik kepada masyarakat.Â
Namun, yang lebih penting adalah kemampuan mahasiswa untuk mengkritisi dan mendialogkan gagasan politik yang dihadirkan oleh partai politik.Â
Kampus seharusnya menjadi wadah bagi pertukaran ide dan pemahaman yang mendalam, bukan hanya sebagai panggung untuk menarik simpati.
Kampanye di kampus sebaiknya mendorong mahasiswa untuk menilai konsep konseptual partai politik dan kandidat.Â
Ini bukan sekadar menghadirkan wacana idealisme, tetapi juga melibatkan mahasiswa dalam proses pemberdayaan masyarakat politik.Â
Pendidikan politik seharusnya tidak hanya menciptakan pemilih yang taat hukum, tetapi juga kritis dan mampu menyaring narasi politik yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
Implikasi Kampanye di Kampus
Kampanye di kampus, jika diarahkan dengan baik, dapat membawa dampak positif dalam meningkatkan kapasitas intelektual dan kesadaran politik masyarakat.Â
Kampus sebagai lembaga pendidikan memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak perubahan sosial dan politik. Namun, perlu diwaspadai bahwa kampanye di kampus tidak berubah menjadi panggung untuk memamerkan kekuatan politik semata.
Pada akhirnya, kampanye di kampus harus diarahkan pada pembentukan masyarakat yang cerdas, kritis, dan beradab.Â
Suasana dialogis di kampus diharapkan dapat menular ke masyarakat umum, menghasilkan kesadaran politik yang lebih baik, dan memastikan bahwa pemilihan umum benar-benar berjalan menuju terciptanya tatanan kehidupan bernegara yang baik.Â
Oleh karena itu, penting bagi para negarawan untuk menjaga kapasitas intelektual dan ketangguhan konsep guna memajukan bangsa dan mencerdasakan kehidupan bangsa sesuai dengan visi konstitusi secara cerdas dan beradab.
Refleksi bersama
Sejalan dengan semangat pendidikan politik yang kritis dan beradab, mari kita refleksikan bersama:Â
Apakah kampanye di kampus benar-benar membawa manfaat signifikan dalam meningkatkan literasi politik dan kritisisme mahasiswa?Â
Bagaimana kita dapat memastikan bahwa kampanye di kampus tidak hanya menjadi ajang pertunjukan politik semata, melainkan benar-benar mendorong dialog dan pertukaran ide yang substansial?
Janganlah kita hanya melihat kampanye di kampus sebagai sekadar peluang untuk menarik perhatian, tetapi mari kita pertanyakan secara kritis peran kampus sebagai lembaga pendidikan politik.Â
Bagaimana kita dapat memastikan bahwa kampus tetap menjadi ruang yang netral, terbebas dari manipulasi politik, dan memastikan bahwa mahasiswa benar-benar menjadi agen perubahan yang kritis?
Bergabunglah dalam diskusi ini untuk berbagi pandangan dan pengalaman Anda.Â
Bagaimana kita, sebagai masyarakat yang peduli terhadap pendidikan politik, dapat bersama-sama menciptakan kampanye di kampus yang benar-benar bermakna?Â
Mari berkontribusi untuk menciptakan masa depan politik yang lebih cerdas, kritis, dan beradab bagi generasi mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI