Pendidikan selalu dipandang sebagai jalan panjang menuju masa depan yang lebih baik. Namun, siapa yang bisa memastikan jalan itu tetap terang dan kokoh?Â
Jawabannya ada pada sinergi tiga pilar utama: guru, murid, dan orang tua. Tanpa kebersamaan, pendidikan akan pincang. Sebaliknya, ketika tiga pilar ini berjalan seirama, pendidikan bermutu bisa terwujud, meski dalam keterbatasan sekalipun.
Saya menulis ini bukan semata dari teori atau seminar, tetapi dari pengalaman hidup. Saya seorang guru sekaligus pustakawan di sekolah swasta. Di sisi lain, saya juga seorang ibu tunggal dari tiga anak yang masih menempuh pendidikan.
Sejak ditinggalkan suami karena sakit, hidup saya berubah drastis. Saya harus menjadi ibu sekaligus ayah, pengasuh sekaligus pencari nafkah. Tidak jarang saya merasa hampir runtuh, apalagi setelah kecelakaan tragis yang membuat saya harus operasi dan pemulihan panjang. Ekonomi merosot, anak-anak morat-marit, dan hati saya sempat larut dalam kesedihan. Namun, perlahan saya belajar bahwa pendidikan, baik untuk murid di sekolah maupun anak-anak di rumah, tetap harus berjalan.
Pilar Pertama: Guru yang Menjadi Sahabat Murid
Sebagai guru dan pustakawan, saya belajar bahwa tugas saya bukan hanya menjaga buku, tetapi menyalakan minat baca dan rasa ingin tahu murid. Buku-buku di perpustakaan adalah jendela dunia, tetapi jika murid tidak diajak membuka, jendela itu tetap akan terkunci.
Saya sering mengingatkan murid tentang adab membaca: memperlakukan buku dengan hormat, mengembalikan tepat waktu, dan tidak merusak halaman. Bagi sebagian orang ini sepele, tetapi bagi saya inilah pendidikan karakter.
Murid belajar tanggung jawab, kejujuran, dan disiplin lewat kebiasaan kecil. Di sinilah saya melihat wajah pendidikan yang sesungguhnya: bukan sekadar nilai ujian, melainkan pembentukan kepribadian.
Baca juga: Guru Pemegang Peran Kunci Dunia PendidikanDi tengah arus digital, saya juga sering mencoba mengajak murid berdiskusi, khususnya tim jurnalistik sekolah yang saya bina; bagaimana mereka bisa bijak menggunakan gawai, bagaimana informasi di internet perlu disaring, dan bagaimana keterampilan membaca dan juga menulis tidak boleh hilang.
Mereka adalah generasi abad 21, dan tugas saya adalah membekali mereka bukan hanya dengan pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan.