Â
Pasar Comboran. Nama itu mungkin terdengar sederhana bagi sebagian orang, namun bagi saya, tempat itu adalah gerbang kenangan yang membuka kembali lembaran masa kecil yang penuh warna dan aroma khas barang bekas.
Di tengah perubahan Kota Malang yang semakin modern dan hiruk pikuk pusat perbelanjaan, Pasar Comboran tetap berdiri dengan kesahajaannya. Bau besi tua, aroma gorengan, dan deret lapak yang memajang segala rupa barang bekas bukan hanya menawarkan fungsi ekonomi, tetapi juga menyimpan sejarah panjang dan kenangan personal yang tak bisa dihapus waktu.
Kenangan Masa Kecil
Saya masih ingat betul bagaimana Bapak kerap mengajak saya menyusuri lorong-lorong Comboran, tempat segala rupa benda tua yang mencari kehidupan baru.
Kami sering jongkok di pinggir rel kereta api yang masih aktif dilalui, hanya beberapa langkah dari area jual beli benda kuno, uang kuno, akik, dan juga perangko. Saya suka menatap uang logam zaman Belanda, membaca nama-nama asing di perangko dari negeri jauh, membayangkan surat-surat cinta yang mungkin pernah mereka bawa.
Sementara itu, Bapak menjelajahi kios-kios kecil untuk mencari aksesori antik, pajangan kuno, aksesori sepeda motor atau potongan besi tua yang bisa disulap menjadi sesuatu yang baru.
Di sana, barang-barang bekas seolah memiliki napas kedua dan istimewanya di tangan Bapak, barang yang tampak usang bisa menjelma menjadi karya estetik. Paling kuingat ketika Bapak membeli wadah lampu tua yang bagi saya saat itu terlihat tak menarik. Wadah  lampu antik itu terlihat kusam dan beberapa bagiannya tampak goresan.
Sesampainya di rumah, wadah lampu usang itu dibersihkan seharian hingga tampak glowing. Kemudian Bapak merangkainya dengan rangka lampu jadul yang sudah ada sebelumnya di rumah.Â
Benda itu dilas, dicat, dilukis, hingga menjelma menjadi lampu hias yang bernyawa. Seolah Bapak sedang berdialog dengan benda mati dan menghidupkannya kembali, laksana Paman Gepetto yang menghidupkan sosok Pinokio.
Namun Comboran bukan hanya tentang kenangan pribadi, ia adalah bagian dari sejarah panjang Kota Malang.
Jejak Trem, Delman, Loak, dan "Nyombor"
Comboran bermula sejak sekitar tahun 1900, masa pemerintahan Hindia Belanda. Kawasan ini adalah jalur trem kota Malang hingga tahun 1950-an.Â
Kawasan Comboran ini juga berfungsi sebagai pasar transit hasil pertanian, tempat di mana para petani menjual hasil panenannya sembari menunggu jalur trem ke tujuan berikutnya.
Area penjualan atau pasar ini berada di seputar Jalan Prof. Moh. Yamin, Jalan Sartono, S.H., Jalan Irian Jaya, Jalan Halmahera (sepanjang rel kereta api Pertamina) hingga Jalan Besi. Masa Kolonial Belanda, kawasan Jalan Prof. Moh. Yamin dan Jalan Sartono, S.H. menjadi satu dengan nama Van Oorschot Weg.
Lokasinya strategis, dekat jalur trem dan kereta jarak pendek yang menghubungkan wilayah-wilayah seperti Pakis, Tumpang, Singosari, hingga Alun-Alun dan Kayutangan.
Di kawasan ini pula, puluhan dokar biasa "ngetem" sambil memberi minum kuda mereka. Dari aktivitas inilah muncul istilah "nyombor", bahasa Jawa untuk memberi minum atau "bedhol pathok" kuda-kuda delman, yang kemudian melahirkan nama Comboran.
Seiring perjalanan waktu, tempat ini menjadi terminal angkutan umum, bemo, demo "delman motor" dengan titik sentral yang mendukung keberadaan Pasar Besar yang lokasinya tak jauh, tepatnya di sebelah utara kawasan ini.
Di masa perang tahun 1942, saat orang-orang Belanda ditangkap dan ditahan Jepang. Barang-barang yang mereka tinggalkan berupa alat rumah tangga, baju-baju, dan segala isi rumah dijual oleh kaum pribumi yang menjadi pembantu mereka di kawasan Comboran ini. Sejak itu, Comboran dikenal sebagai tempat jual beli pakaian bekas orang Belanda.
Tahun 1950-an, jenis barang bekas yang dijual makin beragam. Pada dekade 1960-an, kawasan selatan Comboran berkembang menjadi pusat industri pengelasan dan suku cadang sepeda motor.
Dan pada dekade 1980-an, Comboran mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat barang antik terbesar di Jawa Timur. Banyak orang menyebutnya "Pasar Maling", bukan karena barang curian, tapi karena harganya yang 'kemalingan': sangat murah, tapi kualitasnya bagus.
Demo atau "delman motor" yang juga selalu ngetem di pasar Comboran - Dok. FB @Ian Sanu Shetty

Pasar yang Tak Pernah Usang
Waktu boleh bergulir, wajah kota boleh berubah. Tapi Comboran tetap setia pada karakternya. Di sinilah tempat bagi mereka yang mencari barang langka, potongan masa lalu, dan semangat hidup rakyat kecil yang tidak menyerah meski harus berjualan di bawah seng atau tenda sederhana.
Saat ini mungkin banyak yang tak lagi menoleh ke Comboran yang beberapa kalj mengalami revitalisasi agar tidak tampak kumuh. Mall dan marketplace digital telah menggantikan peran pasar loak sebagai tempat berburu benda-benda murah.Â
Tetapi bagi saya, Comboran tetap istimewa. Ia adalah arsip hidup, galeri kenangan, museum tanpa label. Dan saya merasakan bahwa di balik debu dan besi tua, ia menyimpan sesuatu yang lebih berharga: ada jejak kasih Bapak, kebersahajaan masa kecil, dan pelajaran tentang keindahan dalam hal-hal sederhana yang nyaris terlupakan.
Comboran mengajarkan saya bahwa setiap barang, bahkan yang terlihat tak berguna, punya cerita dan potensi untuk hidup kembali. Seperti kenangan, ia mungkin usang, tapi tak pernah kehilangan makna. Salam Lestari! (Yy).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI