Saat gelar tasyakuran dan bersih desa Sanan Tempe, Sabtu, 12 Juli 2025 lalu, saya sengaja datang sekaligus mengunjungi sahabat masa SD saya, Ibu Yuyun Mudjiawati salah satu perajin keripik tempe Sanan sejak tahun 2001; mulai dari mengolah secara tradisional hingga kini sudah terjamah teknologi. Ia menggunakan kedelai berkualitas bagus untuk tetap mempertahankan kualitas produk keripik tempe itu sendiri.
Sambil mengunyah keripik tempe sagu, saya mendengarkan Ibu Yuyun yang memiliki usaha keripik tempe bermerek Lancar Nanda Jaya ini menceritakan proses pembuatan keripik tempe. Darinya saya tahu, bahwa sebelum keripik tempe dapat kita nikmati harus melalui proses berikut ini :
- kedelai direbus sampai matang
- kedelai matang digiling dengan mesin pemecah kedelai
- Kedelai dilembang untuk memisahkan kulit
- direndam kurang lebih 12 jam sampai getahnya keluar
- buang airnya, cuci bersih
- rebus sampai mendidih
- tiriskan dalam ebor dan dinginkan (diberi ragi; diselongsong bulat atau kotak diamkan hingga 2 hari
- iris tempe dengan mesin pemotong
- dibumbui lalu digoreng hingga matang, siap dinikmati.
Asal-Usul Nama & Komunitas
Tak banyak yang tahu, di balik gang-gang kecil di Kampung Sanan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tersimpan kisah panjang tempe yang mengikat warga dan bertahan dari tantangan zaman. Luasnya sekitar dua hektar, Sanan bukan hanya tempat tinggal, melainkan jantung produksi tempe dan keripik tempe ikonik Malang.
Nama "Sanan" berasal dari pohon Sanakeling ("Sana") yang dahulu tumbuh subur di sana. Di sanalah, sekitar tahun 1800-an, buyut Chabibah yang sering disebut Buyut Kibah, mengenalkan komunitas besar pengrajin tempe, melanjutkan tradisi penduduk awal yang sudah tinggal di kampung itu sebelum jumlah mereka berkembang. Makam buyut Kibah masih terjaga, sebagai tanda bukti sejarah yang dipegang teguh di kampung ini.
Tempe, Ekonomi Kolonial, dan Transformasi Kreatif
Pada masa kolonial Belanda, tempe adalah makanan utama rakyat, murah, bergizi, dan mudah dibuat. Teknik pembuatannya diwariskan turun temurun, menggunakan kedelai lokal dari Pasuruan. Namun sekitar 25 tahun lalu, pasokan kedelai lokal bergeser ke kedelai impor, menyusul perubahan distribusi dan harga.
Puncaknya saat krisis moneter 1998 mendera Indonesia: harga kedelai naik drastis, membuat tempe tradisional sulit dijual. Inilah yang menghadirkan inovasi: warga Sanan mulai mengolah tempe menjadi keripik ringan dan digemari sebagai camilan. Tidak lama kemudian, pada awal tahun 2000-an, keripik tempe pun menjadi oleh-oleh khas Kota Malang, dan tempe tidak pernah kehilangan tempatnya di hati masyarakat.
Pertumbuhan Sentra Industri & Keragaman Produk
Sentra industri tempe di Sanan resmi terbentuk pada era 1970-an. Kini warga lokal, diperkirakan sekitar 2.000 kepala keluarga, bergantung pada produksi tempe: 95% memiliki usaha tempe atau turunannya. Pada tahun 2017, ada sekitar 400 pengrajin di wilayah ini, dengan kebutuhan kedelai harian mencapai 30 ton, bernilai tak kurang dari Rp1 miliar per hari.