Menyusuri gang-gang kecil di Sanan mengingatkan masa-masa ketika saya duduk di sekolah dasar. Banyak teman-teman yang tinggal di kawasan Sanan, yang dari dulu dikenal dengan Sanan Tempe.
Ada yang menarik sekaligus mengundang rasa geli ketika saat itu saya sering melewati Sanan Tempe sambil menikmati segala aktivitas pembuatan tempe secara tradisional. Bagaimana tidak geli, dahulu untuk memisahkan kedelai dari kulitnya dilakukan senam khusus, alias diinjak-injak dalam bak semacam kolam besar.
Dan yang membuat geli adalah ibu-ibu atau nenek-nenek yang menginjak-injak biji kedelai selalu menaikkan kain panjangnya di atas lutut, bergoyang megal-megol atau menggoyangkan pinggul kanan kiri, menginjak-injakkan kaki ke genangan kedelai hingga kulit kedelai terlepas.
Proses tradisional ini yang membuat saya tidak suka makan tempe. Hingga seiring perkembangan zaman metode tradisional sudah berangsur menghilang. Pembuatan tempe sudah menggunakan cara modern, dengan standar higienis yang semakin diperhatikan. Baru itu saya mau mengonsumsi yang namanya tempe.
Kedelai Impor Pilihan
Kedelai merupakan salah satu jenis kacang yang mengandung semua jenis asam amino esensial, protein dan isoflavon yang mempunyai banyak manfaat bagi kesehatan. Kedelai atau Glycine max ini sangat populer karena dapat diolah menjadi berbagai ragam makanan seperti tempe, tahu, susu, kecap, tauco, terigu, dan minyak.
Jenis kedelai yang paling banyak ditanam di Indonesia adalah kedelai berwarna kuning dan hitam yang tak kalah kualitasnya dengan kedelai impor. Sejauh ini terdapat 105 varietas unggul yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi (Balitkabi). Kendalanya adalah minimnya petani lokal sedangkan kebutuhan kedelai berkualitas semakin meningkat.
Kampung tempe Sanan Malang Jawa Timur terkenal sebagai sentra produksi tempe dan keripik tempe. Mayoritas warga Sanan adalah perajin tempe turun temurun. Tempe merupakan makanan warisan Jawa kuno sejak abad ke-10 Masehi yang sangat melekat dari jaman ke jaman.
Sahabat Masa Sekolah Perajin Keripik Tempe
Saat gelar tasyakuran dan bersih desa Sanan Tempe, Sabtu, 12 Juli 2025 lalu, saya sengaja datang sekaligus mengunjungi sahabat masa SD saya, Ibu Yuyun Mudjiawati salah satu perajin keripik tempe Sanan sejak tahun 2001; mulai dari mengolah secara tradisional hingga kini sudah terjamah teknologi. Ia menggunakan kedelai berkualitas bagus untuk tetap mempertahankan kualitas produk keripik tempe itu sendiri.
Sambil mengunyah keripik tempe sagu, saya mendengarkan Ibu Yuyun yang memiliki usaha keripik tempe bermerek Lancar Nanda Jaya ini menceritakan proses pembuatan keripik tempe. Darinya saya tahu, bahwa sebelum keripik tempe dapat kita nikmati harus melalui proses berikut ini :
- kedelai direbus sampai matang
- kedelai matang digiling dengan mesin pemecah kedelai
- Kedelai dilembang untuk memisahkan kulit
- direndam kurang lebih 12 jam sampai getahnya keluar
- buang airnya, cuci bersih
- rebus sampai mendidih
- tiriskan dalam ebor dan dinginkan (diberi ragi; diselongsong bulat atau kotak diamkan hingga 2 hari
- iris tempe dengan mesin pemotong
- dibumbui lalu digoreng hingga matang, siap dinikmati.
Asal-Usul Nama & Komunitas
Tak banyak yang tahu, di balik gang-gang kecil di Kampung Sanan, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, tersimpan kisah panjang tempe yang mengikat warga dan bertahan dari tantangan zaman. Luasnya sekitar dua hektar, Sanan bukan hanya tempat tinggal, melainkan jantung produksi tempe dan keripik tempe ikonik Malang.
Nama "Sanan" berasal dari pohon Sanakeling ("Sana") yang dahulu tumbuh subur di sana. Di sanalah, sekitar tahun 1800-an, buyut Chabibah yang sering disebut Buyut Kibah, mengenalkan komunitas besar pengrajin tempe, melanjutkan tradisi penduduk awal yang sudah tinggal di kampung itu sebelum jumlah mereka berkembang. Makam buyut Kibah masih terjaga, sebagai tanda bukti sejarah yang dipegang teguh di kampung ini.
Tempe, Ekonomi Kolonial, dan Transformasi Kreatif
Pada masa kolonial Belanda, tempe adalah makanan utama rakyat, murah, bergizi, dan mudah dibuat. Teknik pembuatannya diwariskan turun temurun, menggunakan kedelai lokal dari Pasuruan. Namun sekitar 25 tahun lalu, pasokan kedelai lokal bergeser ke kedelai impor, menyusul perubahan distribusi dan harga.
Puncaknya saat krisis moneter 1998 mendera Indonesia: harga kedelai naik drastis, membuat tempe tradisional sulit dijual. Inilah yang menghadirkan inovasi: warga Sanan mulai mengolah tempe menjadi keripik ringan dan digemari sebagai camilan. Tidak lama kemudian, pada awal tahun 2000-an, keripik tempe pun menjadi oleh-oleh khas Kota Malang, dan tempe tidak pernah kehilangan tempatnya di hati masyarakat.
Pertumbuhan Sentra Industri & Keragaman Produk
Sentra industri tempe di Sanan resmi terbentuk pada era 1970-an. Kini warga lokal, diperkirakan sekitar 2.000 kepala keluarga, bergantung pada produksi tempe: 95% memiliki usaha tempe atau turunannya. Pada tahun 2017, ada sekitar 400 pengrajin di wilayah ini, dengan kebutuhan kedelai harian mencapai 30 ton, bernilai tak kurang dari Rp1 miliar per hari.
Selain keripik tempe, kawasan ini juga berkembang dengan aneka olahan lain: keripik apel, pisang, singkong, naga, nangka, semangka, hingga sayur-sayuran. Kemajuan ini semakin memperkaya ragam oleh-oleh khas Sanan.
Dari Kampung 'Nakal' ke Sanan Religius
Tersembunyi di belakang lembaga pemasyarakatan, Sanan dulu dikenal sebagai "kampung nakal". Meski demikian, kehidupan religiusnya juga tumbuh subur. Sahabat saya Ibu Yuyun mengisahkan sekitar 40% masyarakatnya adalah santri atau pernah menimba ilmu di pesantren. Salah satunya pondok pesantren yang menjadi pusat jalan spiritual.
Pengaruhnya terasa, karena daerah Malang (termasuk Sanan) pernah berada di bawah kekuasaan Untung Surapati (1686--1706), pahlawan nasional yang menyebarkan agama dari Pasuruan.
Pelestarian Sumber Air & Peran Generasi Muda
Di akhir 2019, warga dan Pemerintah Kampung Sanan memulai gerakan rehabilitasi "Ledok Berseri", sumber air yang dulunya IPAL komunal. Dulunya terbengkalai, kini potensinya dibuka kembali: rencana budidaya ikan nila atau mas, hingga menjadi sumber alternatif ekonomi. Modelnya murni swadaya, dengan legalisasi tanah wakaf dan dorongan aktif dari pemuda desa.
Kekayaan Budaya: Bersih Desa di Bulan Suro
Tradisi religius juga diwujudkan dalam Tasyakuran dan Selamatan Bersih Desa. Sejak 2016, kegiatan ini rutin dirayakan pada Bulan Suro, Tahun Baru Hijriah. Dimulai dengan pengajian umum dan siraman rohani yang kemudian diakhiri dengan karnaval meriah keesokan harinya. Warga menampilkan kreasi seni budaya mereka sekaligus mempererat kebersamaan.
Seperti yang saya saksikan sendiri, tasyakuran atau selamatan desa Kampung Sanan Tempe dilaksanakan pada Sabtu, 12 Juli lalu, setiap RT membuat gunungan hasil bumi desa atau kampung setempat, berupa sayuran, buah-buahan, pala pendhem, jajanan tradisional, dan banyak lagi yang diarak mengelilingi Kampung Sanan Tempe.
Sanan Tempe mengadakan tasyakuran dan bersih desa ini mempunyai ujud dan tujuan untuk mempererat tali silaturahmi antarwarga, melestarikan budaya, serta mempromosikan Kampung Sanan sebagai pusat produksi tempe dan oleh-oleh khas Kota Malang. Selamatan ini juga menjadi ajang untuk memperkenalkan berbagai inovasi olahan tempe kepada masyarakat luas, sehingga dapat meningkatkan daya tarik wisata dan perekonomian desa.
Dengan demikian, selamatan Desa Sanan, terutama yang berkaitan dengan tempe, memiliki tujuan yang holistik, yaitu menjaga tradisi, mempererat hubungan sosial, serta mendorong pengembangan ekonomi dan pariwisata desa.
Tradisi, Inovasi, dan Harapan
Kampung Sanan bukan sekadar kampung tempe. Dari masa ke masa, ia telah bertransformasi:
- Warisan & Tradisi: Pembuatan tempe sebagai simbol kekayaan budaya dan sosial, diwariskan sejak abad ke-19.
- Inovasi di Tengah Krisis: Saat tempe dianggap mahal, kreativitas mengubahnya menjadi keripik tempe yang kini menjadi ikon Malang.
- Kekuatan Komunitas: Gerakan rehabilitasi sumber air dan peran aktif pemuda menunjukkan semangat membangun dari dalam.
- Kekayaan Spiritual: Sanan memperlihatkan keseimbangan antara dinamika masyarakat dan kecintaan terhadap tradisi keagamaan.
Dengan akses mudah ke pusat kota, Kampung Sanan kini menjadi destinasi wisata kuliner dan budaya. Namun yang lebih penting, kampung ini adalah bukti: sebuah komunitas bisa bertahan dan berkembang "hidup tidak melulu dari tempe" jika ada tekad, kreativitas, dan sinergi antara tradisi dan generasi muda.
Kampung Sanan adalah contoh nyata bagaimana akar budaya dan inovasi berpadu: tempe tak lagi sekadar pangan, tapi juga alat pemberdayaan dan penjaga identitas. Inilah narasi yang bukan hanya membanggakan, tapi juga menginspirasi pembaca untuk melihat lebih dalam arti tradisi dan perubahan dalam setiap gigitan keripik tempe dan setiap harapan yang dituai dari sumber air sekitar gang-gang kecil Malang ini. Salam Lestari! (Yy).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI