Saat menempuh rute Malang–Yogyakarta waktu itu, aku menuntaskan "Sinta Obong", sebuah kisah yang pekat oleh gejolak batin dan keberanian perempuan. Sesekali aku melepas kepenatan dengan sedikit memejamkan mata. Saat mata kembali terbuka, sudah tengah malam, kuajak temanku nongki di ruang restorasi untuk meneguk segelas kopi dan semangkuk mie instan dengan topping telur.
Waktu itu, aku menyelesaikan halaman terakhir buku "Sinta Obong" di stasiun Tugu, di depan toilet sambil menunggu temanku menjalankan sholat subuh. Sambil tiduran beralas ransel, tak terasa aku sempat tertidur setelah penat membaca hingga mentari mulai menyapa dan kami melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan.
Demikian juga ketika perjalanan pulang dari Yogyakarta ke Malang, aku larut dalam “Hujan” karya Tere Liye. Di luar jendela, langit mendung dan gerimis menyambut, seolah menyatu dengan emosi yang bergulir di setiap halaman yang kubuka tanpa jeda.
Tak Bisa Digantikan dengan Layar Digital
Membaca buku di kereta mungkin terdengar sederhana, tapi sesungguhnya ia menawarkan ruang batin yang tak selalu kita miliki di hari-hari biasa. Momen hening yang kita nikmati bersama kata-kata, sembari sesekali menoleh ke luar jendela, adalah pengalaman yang tak bisa digantikan oleh layar digital. Di tengah perjalanan fisik, kita bertemu dengan perjalanan batin.
Mungkin sudah saatnya kita mencoba kembali. Membawa satu buku dalam ransel. Mematikan data seluler sejenak. Membiarkan diri tenggelam dalam cerita. Kita rasakan betapa candunya menikmati deru ular besi di atas rel yang menyatu dengan irama lembaran halaman yang dibuka satu per satu.
Siapa tahu, kita menemukan kembali versi diri kita yang dulu; yang tahu bahwa membaca bukan sekadar mengisi waktu, tapi mengisi hati. Salam Literasi! (Yy).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI