Mohon tunggu...
Yustinus Sapto Hardjanto
Yustinus Sapto Hardjanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pekerja akar rumput, gemar menulis dan mendokumentasikan berbagai peristiwa dengan kamera video. Pembelajar di Universitas Gang 11 (UNGGAS)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Paska Pencoblosan 03: The Power of Nomor Piro Wani Piro

12 April 2014   19:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:45 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang teman yang terlibat dalam tim pemenangan kandidat menceritakan betapa pusing kepalanya setiap kali mengadakan semacam sosialisasi kandidatnya ke kelompok masyarakat. Menurutnya kebanyakan warga kini tak malu-malu lagi untuk mengatakan wani piro. Konon pernyataan semacam itu diucapkan tanpa tedeng aling-aling.

Atau bahkan di-mark up dengan pernyataan “Kemarin kandidat A sudah dan mengatakan segini untuk satu suara, jadi kalau kandidat bapak tidak lebih tinggi ya mohon maaf saja”.

Popularitas wani piro yang diadopsi dari sebuah iklan rokok memang datang di waktu yang tepat. Iklan yang disiarkan lewat televisi nasional itu tentu saja berdampak nasional sehingga masyarakat dari Sabang sampai Merauke fasih mengucapkan penggalan kalimat berbahasa Jawa itu.

Apa yang sebenarnya mendasari wani piro berkembang begitu pesat di masyarakat?. Pangkal soalnya adalah soal efek terpilihnya seorang kandidat yang kemudian duduk di kursi dewan perwakilan rakyat. Di mata masyarakat, duduknya seorang kandidat di kursi dewan perwakilan rakyat tak membawa pengaruh apa-apa bagi masyarakat. Bahkan sebagian malah mengecewakan, karena sebagai wakil rakyat bukannya membuat kebijakan yang bisa memakmurkan, melainkan malah memiskinkan dengan mengkorupsi anggaran yang seharusnya dipakai untuk kesejahteraan masyarakat banyak.

Wani piro mencerminkan prinsip, biar sedikit yang penting dapat. Prinsip minimalis agar tidak rugi sama sekali. Sedikit karena yang ditukar adalah kedaulatan rakyat. Ya suara rakyat dalam pemilu adalah representasi dari daulat tertinggi warga berdasar konstitusi. Adalah murah kalau harga diri masyarakat selaku warga negara hanya dihargai beberapa lembar kertas merah bergambar Sukarno-Hatta.

Tapi siapa yang peduli dengan harga diri. Bukankah harga diri bangsa ini sudah tergerogoti sejak dahulu kala, begitu kilah sebagian orang. Katanya kalau kita punya harga diri kenapa kekayaan kita terus dibawa keluar negeri. Kenapa kita mota-mati listrik sementara batubara yang digali dari bumi kita menerangi kota industri di luar sana yang kemudian menghasilkan barang yang kita gilai.

Mungkin memang benar bangsa ini telah kehilangan harga diri sehingga semua digadaikan. Suara yang menentukan masa depan bangsa dalam lima tahun ke depan akhirnya juga ikut tergadai. Dan sayangnya kecenderungan ini dimanfaatkan oleh para kandidat, dengan mengelontorkan berbagai bantuan, material, barang dan juga uang untuk pemilihnya.

Sayang persoalan moral politik yang begitu berat ini kerap disepelekan. Praktek money politic, vote buying kerap dianggap sebagai persoalan yang wajar. Adalah benar jika seseorang berbaik-baik meski menyimpan niat yang tidak baik. Maka kandidat yang tidak berbagi akan dianggap sebagai orang pelit atau bahkan dianggap sebagai Caleg Miskin. Seolah-olah ada tuntutan bahwa orang yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif haruslah orang yang punya uang atau kekayaan, entah darimana asalnya.

Fenomena maraknya politik uang tak pelak merupakan bentuk pemerataan sikap dan perilaku koruptif. Pemilu diawali dengan berkembangnya virus korupsi hingga di relung terdalam kehidupan masyarakat yaitu orang per orang.

Seorang teman yang gemar berbahasa Inggris selalu mengambarkan pemilu dengan ungkapan Garbage In, Garbage Out. Sinis memang, tapi mungkin ada benarnya. Bukankah apa yang kita idamkan sebagai pemilu yang berkualitas, pemilu yang berintegritas semakin jauh rasanya. Sesuatu yang bermutu harus dilahirkan dari bahan yang bermutu, begitu kira-kira prinsip yang dianut dalam sebuah produksi. Maka wajar jika yang dimasukkan adalah sampah maka yang dikeluarkan sampah pula. Jadi jangan mengeluh dengan apa yang akan kita alami dalam masa lima tahun ke depan. Walau kita masih bikin perubahan asalkan ada semangat untuk mendaur ulang sampah. Sebab di tangan para pendaur ulang, sampahpun bisa berubah menjadi rupiah.

Pondok Wiraguna, 11 April 2014
@yustinus_esha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun