Mohon tunggu...
Yusnawati
Yusnawati Mohon Tunggu... Penulis - Pengagum kata

Pengagum kata yang belajar merajut aksara.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

KUN

17 Agustus 2020   16:31 Diperbarui: 17 Agustus 2020   17:15 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PROLOG

    "Masih berapa lama lagi kita berjalan, Kun? tulang kakiku mulai menebal. Persendian di tubuhku tak mau lagi diajak kompromi. Sepertinya kita harus berhenti sejenak dari perjalanan ini." gadis muda itu berusaha merajuk dengan mimik wajah memelas, agar sahabatnya mempertimbangkan usulannya.

Tak hanya lecet-lecet di kaki, perutnya juga terasa keroncongan. Menelan saliva sebanyak apapun, takkan bisa mengurangi lapar. Tusukan-tusukan di perut, semakin lama makin kencang, membuatnya meringis kesakitan. Perjalanan yang cukup jauh untuk  sebuah jalan tak berujung.

    "Sabarlah dulu. Tahanlah, Fatma! Sebentar lagi kita akan sampai. Jangan sampai kau leka. Tak ada orang di sini yang menolongmu." wajah gadis muda itu makin merenggut mendengar penyataaan Kun, sahabatnya. Ia berusaha melangkahkan kakinya mengikuti ke mana sahabatnya melaju, meskipun dengan langkah setengah sempoyongan karena tak kuat menahan lapar

    "Oke, kita sudah sampai." Kun melirik ke arah sahabatnya yang bermandikan peluh keringat. Tangannya terus memegang perut yang sudah lama mengeluarkan bunyi pertanda harus segera diisi. Cuaca siang ini sangat terik, bagi Kun yang terbiasa hidup berteman dengan alam semua ini sudah biasa. Berbeda dengan Fatma yang baru tinggal lima tahun di Dusun Air Kuro. Wajarlah, jika ia hampir pingsan. Apalagi ini pengalamanya yang pertama.


"Jadi kau mengajakku jauh-jauh ke sini, hanya untuk melihat ini?" gadis muda itu mengelengkan kepalanya, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Rasa gemas berbalut kesal campur aduk jadi satu.

"Apa menariknya Kun, tempat ini? Hanya perkebunan kelapa sawit biasa, hingga kau rela mengajakku berjalan sampai sejauh ini?" Ia memukul bahu sahabatnya. Sementara Kun asyik duduk di sempadan, menikmati kenangan-kenangan yang pernah terangkai. Tentang masa kecilnya, hingga kisah tentang kedua orang tua yang paling dirindukan.

"Kau tak pernah tahu, Fatma. Dulu ini adalah tempat yang sangat  indah. Sebelum perkebunan kelapa sawit ini ada. Aku menghabiskan waktuku berlarian mengitari parit. Sembari menunggu ayah dan ibu bekerja. Bermain bebas, membawa kain yang kuikatkan di batang pohon kecil. Kain itu melayang-layang ditiup angin. Aku sangat menyukainya. Surga terindah bagiku."

"SURGA ... tempat sepanas ini? Payah sekali pikiranmu Kun." Fatma terus mencercanya dengan gambaran surga yang dipikirannya. Sementara Kun hanya tersenyum.

"Kun, lihat di sana ada gubuk tua. Kita beristirahat sebentar di tempat itu. Sembari menikmati bekal makanan yang kita bawa. Di sana sangat teduh. Sepertinya tempat yang nyaman untuk peristirahatan sementara. Fatma berlari ke arah gubug itu, ia ingin segera melahap bekal yang dibawa. Tanpa menunggu sahabatnya, ia terus berlari. 


"Jangan Fatma, ayo kembali. Berbahaya."

"Lihat, ada laki-laki yang keluar dari dalam gubug. Ia melihatmu dan sekarang ia berjalan menuju ke sini.

"Cepat sembunyi Fatma." Kami berdua berhamburan berlari, bersembunyi di balik semak-semak.

"Tuhan, jangan izinkan laki-laki itu menemukan kami." Lamat-lamat kuperhatikan wajahnya. Laki-laki berparas tampan dan tinggi itu, semakin dekat dengan tempat persembunyianku.

"Sial, ia mengambil bekal makananku." seketika tubuh Fatma melemas.

********
Merebahkan diri di peraduan beralaskan tembikar dan kasur lapuk menjadi sesuatu sangat istimewa bagi gadis yang beranjak remaja. Hari ini tak seperti biasanya, ia pulang dengan cepat. Hasil dari pahatan getah kayunya tidak banyak. Kondisinya sedang tidak fit, membuat tubuhnya harus menghentikan serangkaian aktivitas.

Beberapa hari ini demam menyerang. Ia terpaksa bekerja setengah hari. Hanya meminum air dari teko yang terbuat dari  tanah liat. Sedikit membuat tubuhnya tampak segar.

Diusapnya kotak kecil usang itu, sudah lama kotak itu bersemayam di bawah tumpukan baju. Masih disimpannya dengan baik. Kenang-kenangan terakhir dari wanita sangat dicintainya. Sebuah pemberian yang tak mungkin ia lupakan.

Tak ada yang spesial di dalamnya, hanya secarik kertas yang ia sendiri tak tahu apa isinya. Ia pun terbuai dalam kenangan manis, menghantarkannya masuk ke dalam kepingan mimpi. Makin jauh, ingatan itu semakin kuat. Baru saja ia merasakan di puncak kebahagiaan, tiba-tiba ada yang sengaja datang memutusnya.

"Kun ... kun ... cepatlah kau bergegas!"

"Bangun Kun ... mimpimu akan segera terwujud." gadis itu terus menggoyang-goyangkan tubuh Kun, semakin lama semakin kuat. Hingga Kun terbangun dari mimpi indahnya. Sayup-sayup ia buka matanya dengan perlahan.

"Fatma?" gadis itu kaget melihat wajah sahabatnya.

"Ayo Kun, kau harus tahu. Apa yang terjadi." Ia mencubit pipi Kun dengan lembut.

 "Ada apa Fatma?" Ia berdiri, membasuh wajahnya dengan air untuk mengumpulkan kesadaran. Setelah dirasa membaik, ia datangi sahabatnya.

"Sekarang kau boleh cerita, aku siap mendengarnya."

Fatma menarik nafas panjang, sebelum memulai bercerita.

"Di rumah Pak Rosihan, ada pemuda dari kota Kun. Ia mau memajukan desa kita. Termasuk memberikan pendidikan gratis membaca dan menulis." Mata Fatma berbinar saat menceritakan berita baik itu kepada sahabatnya. Ia tahu, sudah lama Kun memimpikannya.

"Kau tidak bohong kan Fatma? Mana mungkin di desa kita yang terpencil ini ada yang mau datang untuk menjadi pengajar. Apalagi dengan medan perjalanan yang sangat sulit, mustahil ada orang yang mau mengorbankan dirinya. Aku tak percaya ada orang sebaik itu." Kun membalikkan tubuhnya.

"Ayo, ikut aku. Akan kutunjukkan jika ceritaku ini nyata. Kau akan melihat pemuda itu." tanpa pikir panjang, digamitnya tangan Kun. Ia ta bisa berontak karena gengaman Fatma jauh lebih kuat. Mereka berdua pergi ke rumah Pak Rosihan.

Sesampai di sana, tak ada sosok pemuda yang diceritakan Fatma. Dicarinya pemuda itu, tapi tak kunjung bertemu, hingga tibalah mereka di pondok yang sudah lama tak dihuni. Suara laki-laki itu terdengar jelas, perlahan-lahan mereka mengendap-endap, mengintip siapa gerangan pahlawan yang baik itu.

Dari balik pondok yang terbuat dari anyaman bambu, Kun melihat laki-laki itu sedang menyapa anak-anak dan berbincang hangat. Hingga anak-anak tertawa gembira. Kemudian mengenalkan sedikit tentang huruf.

Kun terkesima dengan laki-laki itu, colekan Fatma tak digubrisnya. Ia malah menoleh ke Fatma dan memperingatkannya jangan menganggunya lagi.

Kun kembali asyik mengamati laki-laki itu, tetapi aneh lelaki itu tidak ada. Kemana dia pergi? Ia lihat lagi dari lubang yang sama untuk memastikan. Ternyata beneran, tidak ada. Di mana dia, apakah ia hantu?

"Iya aku hantu yang akan menakuti orang-orang yang sengaja mengintipku." suara lelaki itu, mengagetkan Kun. Sosok yang ia lihat dari balik lubang kecil, sekarang sudah ada di hadapannya.
Ia jadi salah tingkah dan merasa malu. Karena telah mencuri dengar percakapan percakapan laki-laki itu dengan sengaja.

"Apakah ini caramu menyambut tamu yang datang dari luar desamu, Nona?" Kun tertunduk. Bibirnya membisu. Tak seperti biasanya yang lantang berbicara.

"Kamu mau belajar juga? Siapa namamu, Nona? Laki-laki itu menatapnya dengan tajam. Antara malu dan takut. Akhirnya Kun, memberanikan diri berbicara.

"Namaku Kun. Maukah Tuan, mengajariku membaca dan menulis?" bibir Kun gemetar. Ia menyerahkan kotak usang yang sudah lama ia simpan kepada laki-laki muda itu.

"Aku ingin bisa membaca apa yang tertulis di kertas itu. Tolong Tuan, bantulah aku!" Kun membungkukkan tubuhnya. Sementara, laki-laki itu semakin bingung dengan apa yang terjadi. Dibukanya surat yang ada di kotak itu, ada tulisan dengan tinta yang mulai memudar. Mungkin karena begitu lamanya surat ini dibuat. Untunglah, masih bisa terbaca.

Dibacanya secarik kertas itu, seketika wajahnya menegang. Ini bukan surat biasa. Ia tak sanggup menceritakannya. Biarlah gadis muda itu sendiri yang membacanya. Sesuatu yang sangat penting dan berarti bagi hidupnya. Ia tak bisa membayangkan, jika kelak gadis itu mengetahui isi dari surat itu.

Kun, semakin cemas. Ia khawatir laki-laki itu menolak permintaannya. Terlihat jelas dari ekspresi di wajahnya. Berulangkali tangannya meremas  pinggiran baju di bagian bawah. Ketakutannya semakin besar. Lama ia menunggu laki-laki itu berbicara.

"Aku berjanji, kau akan bisa lancar membaca dalam waktu satu bulan. Datanglah setiap sore ke sini, Kun. Aku akan ada untuk membantumu." Wajah Kun tampak bahagia, impiannya untuk bisa membaca segera terwujud. Kun mengucapkan terima kasih, kemudian berlari pulang bersama Fatma.

Sementara laki-laki muda itu, tampak gelisah. Tangannya gemetar, dadanya bergemuruh. Tulisan tangan yang dilihatnya, mengingatkannya akan seseorang yang sangat dikenalnya. Ia begitu dekat dan mustahil melakukan perbuatan durja.

"Apakah benar seseorang kukenal adalah orang yang sama dengan yang dimaksud dengan tulisan itu?"

"Lalu siapa Tuan Karim yang dimaksud di kertas itu?" 

Sidoarjo, 17/8/2020

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun