Ia mulai lebih sering tersenyum. Senyum yang tulus, yang mencapai matanya. Ia mulai menceritakan kisah-kisah masa mudanya pada Rania, bukan sebagai seorang pejabat yang angkuh, tapi sebagai seorang kakek yang penuh cinta dan pelajaran hidup. Ia menceritakan tentang kesalahan-kesalahannya, dan bagaimana meminta maaf adalah sebuah kekuatan, bukan kelemahan.
Suatu Subuh, beberapa bulan kemudian, ia kembali bersimpuh di atas sajadah tuanya. Ia mengangkat tangan, berdoa. Doanya tidak lagi dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan cemas. Kini, isinya hanya rasa syukur.
"Ya Allah," bisiknya lirih, sementara air mata hangat mengalir perlahan di pipinya. "Terima kasih atas semua waktu yang telah Engkau berikan. Terima kasih untuk istri yang salehah, anak-anak yang berbakti, dan cucu yang menyejukkan hati."
Ia berhenti sejenak, mengambil napas dalam-dalam.
"Hamba tidak tahu kapan Engkau akan memanggil hamba pulang. Tapi kini, hamba tidak lagi takut. Hamba hanya rindu. Rindu untuk kembali ke pangkuan-Mu dengan hati yang lapang."
Ia menyeka air matanya. Fajar mulai merekah sempurna di ufuk timur, mengusir sisa-sisa kegelapan malam. Hardiman menatap cahaya itu dengan tatapan damai. Perjalanannya sebagai dekan, sebagai profesor, sebagai pejabat, telah lama berakhir. Tapi perjalanannya sebagai seorang hamba, seorang suami, seorang ayah, dan seorang kakek, telah mencapai tujuannya yang paling indah.
Di senja usianya, di ujung sajadahnya, ia akhirnya menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Sebuah kedamaian yang terasa seperti pelukan hangat dari surga, yang membisikkan bahwa sudah waktunya untuk bersiap... pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI