Mohon tunggu...
Yus Alvar Saabighoot
Yus Alvar Saabighoot Mohon Tunggu... Dosen

Saya adalah dosen Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PGPAUD) di Universitas Terbuka (UT). Dengan pengalaman mengajar lebih dari 6 tahun, saya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak usia dini melalui pendekatan inovatif dan berbasis penelitian. Saya juga aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian masyarakat dan pelatihan guru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Maaf di Ujung Sajadah

29 September 2025   09:37 Diperbarui: 29 September 2025   09:37 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Kakek Nenek Duduk di Tepi Danau. Sumber : Google

Langit di ufuk timur baru menyapukan warna jingga pucatnya ketika Hardiman, dengan persendian yang kerap kali berderit protes, membentangkan sajadah tuanya. Udara Subuh yang dingin terasa menusuk hingga ke tulang, namun bagi seorang pria berusia enam puluh delapan tahun, itu adalah melodi pembuka hari yang paling syahdu. Di sinilah dunianya sekarang. Di atas sajadah yang warnanya mulai memudar, di sebuah rumah sederhana yang dipenuhi gema tawa cucu dan aroma teh melati buatan Anisa, istrinya.

Dunia yang begitu kontras dengan kehidupannya sepuluh tahun yang lalu. Dulu, namanya adalah jaminan. Prof. Dr. Hardiman, M.Sc., Dekan Fakultas Teknik di salah satu universitas negeri paling bergengsi di negeri ini. Namanya terukir di puluhan jurnal internasional, fotonya terpajang di lobi fakultas, dan suaranya adalah titah yang didengarkan ribuan mahasiswa dan puluhan staf pengajar. Pagi harinya dulu diisi dengan dering telepon, rapat-rapat penting, dan langkah-langkah gegas di koridor marmer yang dingin.

Foto Ilustrasi Kakek Nenek Duduk di Tepi Pantai. Sumber : Google
Foto Ilustrasi Kakek Nenek Duduk di Tepi Pantai. Sumber : Google

Kini, langkahnya hanya sejauh dari kamar tidur ke ruang salat, dari teras depan untuk menyiram tanaman hingga ke dapur untuk menemani Anisa yang sedang menyiapkan sarapan. Ia telah menukar pulpen dan tumpukan disertasi dengan mainan balok kayu milik Rania, cucu perempuannya yang berusia lima tahun. Dan ia mensyukurinya. Sungguh. Ia selalu berbisik pada dirinya sendiri bahwa inilah puncak kebahagiaan sejati. Melihat anak-anaknya berhasil si sulung, Bayu, menjadi abdi negara yang membanggakan di Kementerian Keuangan; si bungsu, Gilang, menaklukkan anjungan minyak lepas pantai; dan Mentari, putri angkat yang mereka rawat dengan seluruh jiwa, baru saja diwisuda dengan predikat cum laude dari universatitas tempatnya pernah mengabdi.

Foto Ilustrasi Kakek Nenek Sedang Berdoa. Sumber : Gemini
Foto Ilustrasi Kakek Nenek Sedang Berdoa. Sumber : Gemini

"Allahu Akbar..."

Suaranya sedikit bergetar saat memulai takbir. Bukan karena dingin, tapi karena beban yang terasa kian menghimpit dadanya setiap kali ia bersujud. Semakin senja usianya, semakin riuh isi kepalanya.

Selesai salat dan zikir, ia tak langsung beranjak. Matanya menatap kosong ke depan. Di dinding di hadapannya, tergantung sebuah kaligrafi besar. Namun yang dilihat Hardiman bukanlah untaian ayat suci itu. Yang ia lihat adalah wajah-wajah yang telah pergi. Wajah sahabat-sahabatnya.

Telepon genggamnya yang tergeletak di samping sajadah terasa seperti kotak pandora. Setiap kali benda itu bergetar di pagi hari, jantung Hardiman berdebar sedikit lebih kencang. Bukan lagi menanti kabar gembira, melainkan bersiap untuk sebuah nama lagi yang akan terhapus dari daftar kontaknya, dipindahkan ke dalam kenangan. Dimulai dari Profesor Budi, sahabatnya sejak sama-sama merintis karier sebagai dosen muda, yang menyerah pada penyakit gula. Lalu Pak Anwar, rekan sejawatnya di senat universitas, yang tiba-tiba jatuh saat bermain tenis.

Puncaknya adalah wabah Covid-19 beberapa tahun lalu. Wabah itu seperti badai yang datang tanpa ampun, mencabut satu per satu pohon-pohon rindang di generasinya. Dalam setahun, ia kehilangan lima sahabat dekat. Grup WhatsApp "Pensiunan Sejahtera" yang dulu ramai dengan lelucon dan foto-foto cucu, kini lebih sering berisi kabar duka. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kalimat itu terasa begitu rutin hingga terkadang lidahnya kelu untuk mengucapkan. Ada rasa bersalah yang aneh menyelinap. Kenapa mereka? Kenapa bukan aku? Apakah giliranku sebentar lagi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun