Proses ini dimulai dengan data mentah, misalnya gambar. Lapisan pertama mungkin hanya mengidentifikasi fitur-fitur dasar seperti garis dan sudut. Lapisan kedua akan menggabungkan fitur-fitur ini untuk membentuk bentuk yang lebih kompleks, seperti mata atau hidung. Lapisan-lapisan selanjutnya akan terus menyempurnakan identifikasi ini hingga akhirnya, pada lapisan terakhir, sistem dapat mengidentifikasi objek secara keseluruhan, misalnya wajah manusia. Proses ini tidak membutuhkan instruksi eksplisit dari manusia. Sebaliknya, model Deep Learning belajar secara mandiri dari data yang sangat besar, mengidentifikasi pola dan membuat keputusan berdasarkan apa yang telah mereka lihat.
Contoh Sederhana dalam Kehidupan Sehari-hari
Mungkin tanpa kita sadari, kita sudah berinteraksi dengan Deep Learning setiap hari. Contoh yang paling umum adalah sistem rekomendasi video YouTube. Saat Anda selesai menonton sebuah video, YouTube akan menyarankan video lain yang mungkin Anda suka. Bagaimana ia tahu? Sistem Deep Learning telah menganalisis jutaan data tentang kebiasaan menonton Anda dan pengguna lain yang serupa. Ia melihat video apa yang Anda tonton, berapa lama Anda menontonnya, video apa yang Anda "like" atau "dislike," dan kemudian memprediksi video apa yang akan membuat Anda tetap berada di platform.
Contoh lain yang sangat visual adalah fitur pengenalan wajah pada smartphone Anda. Ketika Anda mengaktifkan fitur ini, ponsel Anda tidak hanya membandingkan gambar wajah Anda dengan satu foto yang tersimpan. Sebaliknya, ia menggunakan model Deep Learning untuk menganalisis dan memetakan fitur-fitur unik pada wajah Anda, seperti jarak antara mata, bentuk hidung, dan kontur wajah. Ini memungkinkan sistem untuk mengenali wajah Anda bahkan dalam kondisi pencahayaan yang berbeda atau ketika Anda memakai kacamata.
Mengenal Generasi Alpha
Jika Deep Learning adalah otak di balik masa depan digital, maka Generasi Alpha adalah pengguna utamanya. Generasi ini mencakup individu yang lahir sekitar tahun 2010 hingga 2024. Mereka adalah generasi pertama yang sepenuhnya lahir dan dibesarkan di era digital, di mana teknologi bukan lagi sekadar alat, melainkan bagian integral dari kehidupan mereka.
Karakteristik Utama Generasi Alpha
Salah satu ciri paling menonjol dari Generasi Alpha adalah status mereka sebagai digital native. Mereka tidak pernah mengenal dunia tanpa internet, tanpa smartphone, dan tanpa media sosial. Bagi mereka, berinteraksi dengan teknologi adalah hal yang lumrah dan intuitif. Mereka belajar melalui sentuhan, gesekan, dan ketukan layar.
Karakteristik kedua adalah sifat mereka yang visual-sentris. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram adalah dunia mereka. Mereka lebih suka mengonsumsi informasi melalui video, gambar, dan grafis interaktif daripada melalui teks yang panjang. Konten yang menarik secara visual dan mudah dicerna akan lebih efektif dalam menarik perhatian mereka.
Terakhir, mereka terbiasa dengan interaksi instan. Mereka hidup di era di mana informasi dan komunikasi tersedia dalam hitungan detik. Mengirim pesan, mencari jawaban, atau bahkan membeli barang, semuanya bisa dilakukan secara instan. Ini membuat mereka cenderung memiliki rentang perhatian yang lebih pendek dan mengharapkan umpan balik yang cepat.
Mengapa Pendekatan Pengajaran Harus Berbeda?