Mohon tunggu...
Boarneges
Boarneges Mohon Tunggu... Profesional -

"Tidak-kah kita merasa kehilangan orang-orang yang selama ini kita andalkan? mari kita melawan lupa,

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan di Tambang Batu (1)

21 Maret 2016   13:55 Diperbarui: 21 Maret 2016   14:11 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendung, kembali mengarak menguntai teduh, di atas barisan kepala-kepala tertutupi lipatan handuk kumal, dengan urat tangan mengakar, menggenggam palu besi besar, memecahi kepingan bebatuan. Perempuan-perempuan, berbaris di pinggiran jalan setapak, mendampingi kubikan batu, menumpuki mimpinya berkubik-kubik, yang diangkut mobil pick up tua yang membising setiap kali melewati jalanan, kendaraan rongsokan yang harusnya sudah dimuseumkan atau mungkin dijual perkilo besinya. Ramai di bawah panas terik, bersama bocah-bocah kecilnya yang bermain di atas serakan serpihan cadas, berteduh di bawah pancangan daun kelapa kering, dibawah lereng bukit berbatu, mengaisi bongkahan-bongkahan, meninggalkan lobangan renggang, tanpa peduli waktu akan menjumpakan pada bencana, jikalau longsor menimbuni segalanya. Tiada takut dan ragu, sejengkal lambung adalah peluh, dan persetan dengan alam yang mungkin akan membecana itu, ataupun mungkin ia akan iba pada setiap helaan napas berat ini, iba pada buncitnya bocah-bocah kami. Kami terlihat bersahabat dengannya, dan ia, sang alam memberikannya. kami turut menjaganya.

Aku berada diantara perempuan-perempuan yang berbaris rapi, sepanjang hari, bersama tertawa dan juga menangis. Tahulah kalau sesama mamak-mamak sudah berkumpul, tapi kami tidak sedang mempergunjingkan pemerintah, tidak sedang membahas politik di Jakarta, meski bibir kami hitam seperti bibir perempuan  yang sering tampil di TV itu, minimalnya kami tidak sepicik dan selicik dirinya. Siapa perempuan berbibir hitam itu? Ah, aku lupa namanya. Juga kami tidak sedang membicangkan anak-anak kami kuliah di universitas mana, karena tak ada yang tiba pada titik itu, adapun hanya beberapa, tapi tak ada mereka di antara kami ini. Itu cerita biasanya hanya milik tengkulak keturunan yang tinggal di daerah pesisir, berkilo-kilo meter jauhnya dari pemukiman kami. Dan aku yakin itu akan menjadi milik kami juga, milik anak gadisku yang kecil, Siti. Aku hanya yakin saja, karena hanya itu yang kupunya. Keyakinan.

Aku membaur di sini sejak beberapa bulan yang lalu, sejak ayahnya Siti meninggal. Suamiku yang malang, meninggal tertimpa pohon yang ditebangnya. Tapi dia bukan pembalak liar. Ia berbeda dengan perusahaan-perusahaan pembalak dengan mesin-mesin besar, truk-truk dan kapal panton yang mengangkut berkubik-kubik kayu dari tanah kami, mungkin beribu-ribu kubik, dan menyisahkan tanah tandus untuk anak-anak kami. Apakah tuan menteri tak tahu ini? ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya, apa dikata, mereka terus membalak dengan perlindungan HPH dan raja-raja daerah, dan kami hanya diam tanpa bisa melawan. Suamiku bukan pembalak seperti mereka itu, ia hanya ingin menafkahi kami dari yang alam berikan. Untuk sejengkal lambung yang menopang hidup, juga untuk Siti dan manusia yang sedang bertumbuh di rahimku saat ini, benih manusia yang ditinggalkannya untuk menemaniku kelak. Sejak itu, aku harus berjuang sendiri, menggali lereng-lereng bukit, mengaisi bebatuan dan memecahinya menjadi bongkahan berkubik-kubik, mungkin inilah emansipasi yang pernah dikatakan guruku ketika aku masih di sekolah dasar. Aku bersama barisan ini berjuang sendiri. Sementara para lelaki berjuang di ladang-ladang, mengolah kopra yang harganya semakin menurun saja. Monopoli yang menjajah kami pelan-pelan di antara berita-berita kemajuan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Bagaimana kami bisa berlindung, pohon-pohon kami tumbang di depan mata aparat berseragam yang berjaga. Sejak kapan mereka menjadi penjaga perusahaan? Sejak nurani mulai membuta.

Sialnya, aku terkejut dan hampir tergelincir ke bawah lereng mendengar Inah, tetanggaku, memanggilku keras, juga menyebut-nyebut nama anakku, Siti. Aku ke tambang batu siang ini sendirian. Siti kutinggal dirumah, kutitip pada Inah untuk menengoknya sementara aku di lereng batu. Siti sedang sakit, badannya panas semalaman, kakinya berkudis, apa dayaku, dengan beberapa ramuan daun resep Ibundanya Inah, panas anakku menurun. Aku segera beranjak menghampiri Inah menanyakan anakku.

"Anakku kenapa, Inah?"
"Siti menangis keras, badannya panas, ia terus meronta. kakinya bernanah!" serunya

Aku mengangguk ke arahnya, lalu berlari menuju rumah Inah. Suara tangis Siti kedengaran dari luar rumah, semakin kupercepat langkahku. Bundanya Inah sedang duduk disamping Siti setibaku di kamar, mengipasinya dengan selembar koran bekas, mencoba membunjuknya, menenangkan tangisnya. Aku menghampiri Siti, tangisnya reda sesengukan, kusingkap kain penutup kakinya, tampak kakinya bernanah.

"Segera bawa berobat, Ni," ujarnya Bundanya Inah.
"Iya Mak," ujarku sembari mengangkat badan Siti, melap keringatnya dan segera menggendongnya.
"Aku antar Nak Siti dulu ya, Mak"
"Hati-hati" Ujarnya pelan.

Setengah berlari aku mempercepat langkahku, pikiranku linglung karena semua serba tiba-tiba. Siti sedikit tenang di gendonganku. Aku menutup kepalanya dengan kain sarung Bundanya Inah.

“Mau kemana, Ni? Tak ikut ke lereng batu?” tanya seorang ibu tua, tetanggaku, ketika melewati rumahnya siang itu.

“Ini baru balik dari lereng, Siti sakit, kakinya bernanah,” ujarku. Kusingkap sedikit kain yang menutupi kaki Siti di gendonganku, kain kumal yang biasa kugunakan menutup kepalaku menahan terik. Memperlihatkannya kepada ibu tua itu.

“Aduh, kasihan Siti, Ni. Cepatlah bawa berobat,” ujarnya pelan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun