Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Jeritan Hati Seorang Sopir #Angkot

9 Agustus 2025   18:33 Diperbarui: 10 Agustus 2025   12:30 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar buatan chatGPT

Sudah sebulan lebih tidak naik angkot dari/ dan ke Jakarta. Kok ya ngepasi kemarin hari Jumat Pahing 08 Agustus saya ada kesempatan naik yang nomor 08 (kosong delapan -orang sini bilang), jurusan Kota ke Tanah Abang. Ceritanya hari itu saya ada kegiatan di Kemenko PMK. Setelah jumatan di RRI saya meluncur ke kantor Kemenko tersebut dari pintu jalan Abdul Muis. 

Awalnya saya dari Semanggi turun halte busway Monas kemudian jalan kaki menyusuri Merdeka Barat. And then masuk ke Gedung RRI pintu timur, kemudian keluarnya di pintu barat. Udara siang yang panas di seputaran Monas bercampur debu jalanan mobil dan asap kendaraan. Selesai giat jam 14.00 WIB saya mencegat angkot 08 yang menuju stasiun Tanah Abang.

Saya duduk tepat di belakang pak Sopir. Mengamati beliau ini (dari segi usia sih udah 40an tahun, mungkin "jelita" alias Jelang Limapuluh Tahun) jadi tahu bagaimana suka duka sopir angkot. Jadi inget, beberapa kali saya adu debat dengan sopir angkot, terutama di daerah Bogor. Finally saya jadi paham mengapa mereka jadi temperamen begitu.

Pernah suatu saat saya bawa motor dan berhenti di pinggir jalan stasiun Cilebut (yang arah Bojonggede) di kota Bogor. Padahal motorku sudah demikian mepet pinggir jalan. Masih juga si angkot ini seperti "kasih saran" agar saya menyeberang. Maksud dia biar buat tempat angkotnya ngetem. Saya tidak mau pindah. Awak pikir-pikir emang ini jalan punya nenek dia. "Emang ini jalan BUMN, Bang". Maksud BUMN adalah b-adan u-saha m-oyang n-enekloe. Masak nyuruh orang minggir menjauh dari infrastruktur publik. Kalau elo mau ngetem kan bisa di depan atau di belakang motor. Gilak apa' mestinya begitu, kan.

Atau kesempatan/ pengalaman lain di jalan Karadenan, kabupaten Bogor. Mobil angkot pada ngetem di depan SMA 2, dan SMK 1 Cibinong. Dengan berhenti lama begitu kan menutupi pandangan mobil semisal mau belok ke kanan. Belok kiri juga. 

Kembali ke laptop. Sekitar 14.24 WIB alias telah menunggu sekitar 5 (lima) menit di jalan abdul muis (tepatnya di tengah tengah RRI dan Kemenko Pemberdayaan Masyarakat) datanglah itu si angkot 08. Hanya ada 1 (satu) orang penumpang, dus berdua ama saya. Mendekat ke Kemenhub nambah satu lagi. Eehh begitu lewat di seberang SMK 1 Jakpus, ini angkot berhenti di tengah-tengah, memanfaatkan perbaikan jalan yang ada di tengah.

"Ayo dik naik... naik dik... tasiyun tasiyun", sapaan ajakannya ke calon penumpang dari SMK. Sambil jari tangannya menunjuk-nunjuk ke atas. Seakan mengabarkan kalau mobil segera berangkat. Satu per satu ada yang naik, tapi tetap saja butuh waktu lama sampai angkotnya penuh. Raut wajah antara sedih (karena tidak banyak yang naik). Atau mungkin biasa saja -karena memang sudah rutin menghadapi ekspektasi yang kurang menggembirakan. Antara harapan dan kenyataan.

Roda mobil berputar kembali. Sepertinya si sopir ada niatan belok ke kanan, ke jalan Tn Abang 1 (satu), tapi dia urungkan. Dia lurus lagi. Kelihatannya di kejauhan mobil berderet antri panjang di lampu merah jalan kebon sirih (masjid BI). Sejurus kemudian dengan keahlian setirannya, putar balik ..... memilih untuk belok arah Paspampres. Sebentar kemudian ada macet di jalanan kecil (kayaknya yang tembus starbucks itu). Mutar lagi memilih jalanan yang sedemikian kecil sehingga ...... (titik titik). Eh tiba tiba sejurus kemudian ada anak SMP naik motor kenceng, puter ke kirinya terlalu ke kanan. Sopir setengah teriak, "Dasar pembalap .....". Mungkin pembalap yang dimaksud adalah "pemuda badan gelap". Pak sopir kelihatannya orang penyabar, tidak marah marah ama anak smp itu.

Begitu lincahnya mengemudi, melewati jalan yang hanya bisa mobil satu, mepet-mepet ketika ada motor lewat. Anyway macet kian parah. Udara di dalam angkot mulai pengap, bercampur bau keringat dan asap knalpot. Tapi setidaknya ia tetap fokus mengendalikan setir, menghindari lubang dan celah sempit yang hanya sopir kawakan yang bisa lewati.

Setelah hampir 20 menit akhirnya ketemu jalan besar. Kira-kira udah agak dekat ama stasiun (cuman paling nunggu traffic light di bawah jalan layang itu). Dah agak santai, si sopir nerima telpun. Kelihatannya sih dari istrinya. "Pak, anakmu masih panas. Gue periksain ke Puskesmas ye"

"Iye sono ati ati ye", kemudian telepon ditutup.

Hanya lima menit sampai di Stasiun Tanah Abang. Penumpang turun satu per satu. Ada yang langsung pergi, mungkin "orang dalem". Lalu ada yang menyodorkan uang lima ribu. Namun, seorang bapak paruh baya menggerutu. "Lho, biasanya saya dapat kembalian. Apa sekarang lima ribu?"

Sopir tidak menjawab, dia kasih saja kembalian itu uang seribuan.

Saya turun mendekati gate stasiun di lantai dua sambil terbayang peristiwa selama naik angkot 08 tadi. Di balik setir, sang driver itu bukan hanya sopir angkot biasa. Ia adalah ayah yang memikirkan biaya sekolah anak, suami yang menenangkan istri, dan manusia yang setiap hari berperang dengan panas, macet, dan tatapan meremehkan dari pengendara lain. Banyak yang melihatnya hanya sebagai pengemudi berkulit gelap di mobil kotak bercat kusam. Mereka tak tahu, di balik kemudi itu ada hati yang terus menjerit.

Jadi inget dulu (atau masih ada ya?) sebuah judul FTV atau sinetron bertajuk "Jeritan Hati Seorang Istri". Tapi ini adalah kisah suami yang pekerjaannya sopir angkot. Andaikan dia sang sopir ini diberi kesempatan menjerit, mungkin akan keluar semua tangisan dan air mata, serta umpatan dan sumpah serapah. Jeritan hati seorang sopir angkot. Tapi ... tapi .... tapi dia tetap nyopir sambil merokok menyetel dangdutan di tape mobilnya lalu ngerjain penjual asongan di pinggir jalan.

Membayangkan besok pagi, si abang sopir itu menyalakan mesin lagi. Bahkan nanti sore sampai malam. Angkotnya akan terus melaju. Kadang pelan kadang perlahan, berhenti sana sini. Bisa juga cepat menembus hiruk pikuk Jakarta. Tampak di luar, semua orang kelihatan sibuk mengejar tujuan. Tapi di dalam kabin sempit itu, ia hanya berharap satu: bisa pulang membawa cukup uang, dan esok esoknya lagi masih punya tenaga untuk kembali berjuang.

Segitunya Bang elo nyari Rupiah. Batin saya gentian menjerit. Saya jadi bertekad: Usahakan untuk tidak berantem kata alias jangan debat ama sopir angkot. Kasihaaannnn ....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun