Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pindah Ibu Kota (Sejahatnya Ibu Tiri Masih Lebih Jahat ...)

2 Mei 2019   11:06 Diperbarui: 2 Mei 2019   12:08 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Amerika Serikat dengan Washington dan New York. China dengan Peking dan Beijing. Dulu semasa Era Orde Baru sempat memikirkan untuk memindah ibukota dari Jakarta ke Jonggol. Sekarang ini, perlukah kita akan keberadaan ibukota baru? Tulisan ini bermaksud membahas hal tersebut.

**
ATENG dan Ishak (keduanya telah almarhum) pernah membintangi film tahun 70 atau 80-an yang bertema "sejahat-jahatnya ibu tiri masih lebih jahat ibukota". Sekarang kita menyaksikan adegan kekejaman tersebut --bahkan jauh waktu sebelumnya. Yang terkini adalah manusia yang makan dari sisa-sisa sampah (kejadian tahun 2008 ya). 

Melengkapi potret kekejaman sebelumnya seperti gelandangan yang hidup di bawah kaki jembatan layang, kompleks rumah di pinggir kali, hidup di pinggiran rel, hidup bersama tikus, dan orang-orang cacat yang meminta-minta di KRL. 

Jakarta sudah tidak sedemikian manusiawi. Manusia Indonesia yang ingin mendapatkan sesuap nasi (karena di daerah tidak ada pekerjaan) menjadi manusia yang teralienasi dengan harkat dan martabatnya. Pemprov juga tidak mampu melayani kebutuhan dasar seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. 

Slogan yang dilancarkan Kepolisian RI agar pengendara kendaraan bermotor untuk sopan santun juga menjadi hal yang muskyil karena begitu padatnya jalannya --dengan kata lain pertumbuhan jalan tidak mampu mengikuti pertumbuhan kendaraan bermotor. Kepadatan kendaraan (terutama motor) akan menjadi penyebab utama kemacetan dan kekacauan yang ujung-ujungnya terlanggarnya sopan santun berlalu lintas.

Gerakan pemerintah (terutama Pemprov DKI) untuk menekan urbanisasi juga sia-sia, atau malah munafik, karena Pemerintah pusat pada sisi lain membiarkan uang di seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta. Pada era Orde Baru bahkan sampai mencapai 80 persen uang terakumulasi di ibukota. Sampai sekarang, proses pengambilan keputusan atas anggaran yang didaerahkan --yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan perbantuan- juga dilakukan di Jakarta. 

Transmigrasi pun juga bukan merupakan solusi karena istilah "ditransmigrasikan" seakan memberi kesan bahwa orang tersebut dibuang ke tempat yang tidak berpotensi. Logikanya perlu kita balik. Siapa yang perlu transmigrasi? Apakah rakyat yang kalah bersaing (baca: kaum urban) yang perlu transmigrasi? Ataukah malahan ...pejabatnya. 

Ya, perlu kita pikirkan bersama, bahwa Pemerintahanlah yang mestinya hijrah atau bertransmigrasi. Pemerintah harus membalik logika antara siapa yang perlu ditransmigrasikan dan di mana tempat transmigrasinya.

Kita membutuhkan semacam "keikhlasan regional" dari publik Jakarta untuk melepas keibukotaannya demi pertumbuhan daerah lain, dan demi kemajuan NKRI pada umumnya. 

Selain itu keikhlasan pejabat publik di Jakarta untuk melepas kemewahannya, lalu bersepakat untuk mentransmigrasikan diri secara bersama. Kita membutuhkan ibukota baru, yaitu sebuah ibukota yang lebih manusiawi, yang lebih menarik magnitude tidak ke Jakarta, atau bahkan tidak hanya ke Jawa. 

Memindah ibukota ke lain tempat tidak berarti mematikan aktifitas bisnis di kota ini. Karena kita mengenal ibukota negara dan ibukota pemerintahan --seperti tersebut di alinea di atas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun