Mohon tunggu...
Yuniandono Achmad
Yuniandono Achmad Mohon Tunggu... Dosen - Dreams dan Dare (to) Die

Cita-cita dan harapan, itu yang membuat hidup sampai saat ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pindah Ibu Kota (Sejahatnya Ibu Tiri Masih Lebih Jahat ...)

2 Mei 2019   11:06 Diperbarui: 2 Mei 2019   12:08 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pictur from: https://nasional.kompas.com

PADA akhir April 2019 ini Presiden Joko Widodo menggulirkan kembali wacana tentang pindah ibukota. Dulu waktu pertama menjabat presiden -barangkali tahun 2015- diskursus tentang pindah ibukota sudah digelontorkan, sekarang diputar lagi. 

Zaman presiden SBY juga pernah, bahkan sudah dibentuk tim khusus yang bertugas mengkaji pemindahan ibu kota. Namun, selama dua periode pemerintahannya, hasil kajian tak pernah diungkap menyeluruh ke publik. 

Zaman pak Harto, pernah diawacanakan pindah ke Jonggol. Zaman Bung Karno, direncanakan mau pindah ke Palangkaraya, pada tahun 1950-an. Dari googling, bahkan era kolonial Belanda sempat punya wacana memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung (tahun 1916).Ada juga sumber yang menyebutkan mau ke Surabaya.

Sewaktu saya mengambil penataran P4 di fakultas Filsafat UGM tahun 1994, Dr Damarjati Supadjar sudah berbicara terkait ide pemindahan ibukota. Yaitu dari jakarta ke yogyakarta. Kurang lebih argumennya karena Jakarta sudah tidak beradab lagi sebagai sebuah ibukota. Beliau tawarkan jogja -sebagai sebuah kota budaya dan layak menjadi ibukota. 

Di kota Yogyakarta banyak simbol kejayaan bangsa yang dapat dimaknai. Dari mulai keberadaan keraton, candi, alun-alun, dan gunung. Apabila dihubungkan dengan ceramah beliau di UNS tentang renaisans (dapat diunggah di you-tube dengan memasukkan kata kunci nama beliau) kejayaan itu bisa berasal dari huruf/aksara jawa. Hanya aksara jawa yang hurufnya "hidup" semua. Ha na ca ra ka ...dan seterusnya

Saya sempat ada tulisan di Fb yang saya susun sendiri pada tahun 2008. Sekali lagi ini tulisan lawas, guys. Bermula dari terinspirasi tulisan ibu Toeti Adhitama di Media Indonesia pada tanggal 17 Oktober 2008 ("Wajah Sebagian Penduduk Jakarta"), dan Razali Ritonga di harian Kompas, 21 Oktober 2008 ("Urbanisa(nk)si"). 

Kedua tulisan tersebut secara spirit bertema besar tidak jauh berbeda. Jakarta, seperti kota-kota lainnya di Indonesia, memiliki potensi yang luar biasa, tetapi bisa menjadi "impotensi regional" karena kekuatannya yang hanya mampu menampung 12 juta orang. Padahal PBB dalam World Urbanization Prospects (2006) memperkirakan jumlah penduduk Jakarta sebanyak 13,2 juta jiwa. Jadi ibukota ini sudah melewati daya tampungnya.

Sedangkan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI), 2008, sendiri menyatakan bahwa jumlah penduduk saat ini telah mencapai 8,7 juta jiwa, belum yang tidak terhitung para pendatang yang hijrah dari kampung halamannya pada setiap tahun --bahkan setiap bulan. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 2,34 persen per tahun pada tahun 1970/ 1980. 

Era Orde Baru cukup berhasil dengan slogannya "Dua Anak Cukup". Kemudian berlanjut ke masyarakat yang rasional pada era reformasi belakangan ini mampu menahan laju penduduk untuk turun menjadi 1,3 persen pada tahun 2006 (BPS).

Dengan laju sebesar itu maka setiap tahunnya Indonesia "hanya" bertambah 3,2 juta jiwa --yang bisa disamakan dengan jumlah total penduduk Singapura, atau penduduk Semarang (Jawa Tengah). Penduduk Indonesia tersebut terkonsentrasi di pulau Jawa sebesar 128,2 juta, atau 58 persen, dibandingkan total penduduk Republik ini yang mencapai 219,2 juta (BPS, 2005). Dari 128 juta penduduk Jawa, sebanyak 13,2 juta jiwa (atau sepersepuluhnya) menempati ibukota Jakarta.


Kuala Lumpur yang berpenduduk 2 juta dirasa terlalu padat sehingga pemerintahan Malaysia memindahkan ibukota pemerintahan ke Putrajaya. Di negara-negara lain juga dikenal pemisahan antara ibukota Negara dan pusat bisnis (atau ibukota pemerintahan) semacam itu. Australia mempunyai Canberra dan Sydney. 

Amerika Serikat dengan Washington dan New York. China dengan Peking dan Beijing. Dulu semasa Era Orde Baru sempat memikirkan untuk memindah ibukota dari Jakarta ke Jonggol. Sekarang ini, perlukah kita akan keberadaan ibukota baru? Tulisan ini bermaksud membahas hal tersebut.

**
ATENG dan Ishak (keduanya telah almarhum) pernah membintangi film tahun 70 atau 80-an yang bertema "sejahat-jahatnya ibu tiri masih lebih jahat ibukota". Sekarang kita menyaksikan adegan kekejaman tersebut --bahkan jauh waktu sebelumnya. Yang terkini adalah manusia yang makan dari sisa-sisa sampah (kejadian tahun 2008 ya). 

Melengkapi potret kekejaman sebelumnya seperti gelandangan yang hidup di bawah kaki jembatan layang, kompleks rumah di pinggir kali, hidup di pinggiran rel, hidup bersama tikus, dan orang-orang cacat yang meminta-minta di KRL. 

Jakarta sudah tidak sedemikian manusiawi. Manusia Indonesia yang ingin mendapatkan sesuap nasi (karena di daerah tidak ada pekerjaan) menjadi manusia yang teralienasi dengan harkat dan martabatnya. Pemprov juga tidak mampu melayani kebutuhan dasar seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. 

Slogan yang dilancarkan Kepolisian RI agar pengendara kendaraan bermotor untuk sopan santun juga menjadi hal yang muskyil karena begitu padatnya jalannya --dengan kata lain pertumbuhan jalan tidak mampu mengikuti pertumbuhan kendaraan bermotor. Kepadatan kendaraan (terutama motor) akan menjadi penyebab utama kemacetan dan kekacauan yang ujung-ujungnya terlanggarnya sopan santun berlalu lintas.

Gerakan pemerintah (terutama Pemprov DKI) untuk menekan urbanisasi juga sia-sia, atau malah munafik, karena Pemerintah pusat pada sisi lain membiarkan uang di seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta. Pada era Orde Baru bahkan sampai mencapai 80 persen uang terakumulasi di ibukota. Sampai sekarang, proses pengambilan keputusan atas anggaran yang didaerahkan --yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan perbantuan- juga dilakukan di Jakarta. 

Transmigrasi pun juga bukan merupakan solusi karena istilah "ditransmigrasikan" seakan memberi kesan bahwa orang tersebut dibuang ke tempat yang tidak berpotensi. Logikanya perlu kita balik. Siapa yang perlu transmigrasi? Apakah rakyat yang kalah bersaing (baca: kaum urban) yang perlu transmigrasi? Ataukah malahan ...pejabatnya. 

Ya, perlu kita pikirkan bersama, bahwa Pemerintahanlah yang mestinya hijrah atau bertransmigrasi. Pemerintah harus membalik logika antara siapa yang perlu ditransmigrasikan dan di mana tempat transmigrasinya.

Kita membutuhkan semacam "keikhlasan regional" dari publik Jakarta untuk melepas keibukotaannya demi pertumbuhan daerah lain, dan demi kemajuan NKRI pada umumnya. 

Selain itu keikhlasan pejabat publik di Jakarta untuk melepas kemewahannya, lalu bersepakat untuk mentransmigrasikan diri secara bersama. Kita membutuhkan ibukota baru, yaitu sebuah ibukota yang lebih manusiawi, yang lebih menarik magnitude tidak ke Jakarta, atau bahkan tidak hanya ke Jawa. 

Memindah ibukota ke lain tempat tidak berarti mematikan aktifitas bisnis di kota ini. Karena kita mengenal ibukota negara dan ibukota pemerintahan --seperti tersebut di alinea di atas. 

Jakarta tetap sebagai ibukota negara, dan kita butuh ibukota baru untuk pemerintahan. Pusat pertumbuhan Republik yang telah berusia 63 tahun yang berada di Jawa perlu kita arahkan ke wilayah atau bagian atau pulau yang lain demi asas pemerataan, dan kesejahteraan umum seperti cita-cita berbangsa dan bernegara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

**
IBUKOTA baru tersebut juga mencerminkan rakyat kita yang separuhnya adalah miskin --menurut hitungan 2 dollar per hari dari Bank Dunia. Jakarta tidak mencerminkan ekonomi masyarakat Indonesia. 

Di kota ini para bankir bisa mendapatkan kekayaan sampai dengan Rp 1 milyar per tahun, yang tentunya akan membuat malu Menteri BUMN kalau bergaji di bawahnya. Sementara berita setahun lalu ada episode Bapak yang membawa mayat anaknya yang masih kecil ke kampung, karena tidak memiliki uang untuk menguburkannya di Jakarta.

Mengutip Jaya Suprana yang menyatakan bahwa predikat "ibukota" merupakan penghargaan kepada para perempuan (baca: ibu), sebagai simbolisasi kota besar, induk kota-kota yang lainnya. 

Arti ibukota dapat dilanjutkan dengan metafora ibu yang penuh kasih sayang kepada anakanaknya --namun terlihat bahwa kita menguburkan makna ibu dengan egoisme dan pemupukan kekayaan di Jakarta. Kita berebut rejeki dengan orang lain yang notabene bangsa sendiri. 

Mungkin ibukota kita yang lebih manusiawi perlu pindah ke luar Jawa, ke Sumatera barangkali, atau ke wilayah Indonesia timur. Keberadaan jembatan trans Jawa Sumatera akan sangat mendukung, demikian juga jaringan penerbangan barat ke timur, dan jalur internet untuk memudahkan komunikasi. 

Dulu pemerintahan Soekarno pernah memindahkan ibukota --dari Jakarta ke Bukittinggi, juga Yogyakarta- karena alasan perjuangan yang tak boleh surut. Sekarang untuk alasan kemanusiaan mengapa tidak kita lakukan langkah yang sama? Terus terkait waktu: Kapan lagi ....

Konstrain kita dalam hal ini adalah anggaran yang terbatas. Sebagai salah satu solusi pendanaan maka investasi domestik perlu dioptimalkan mengingat investasi masyarakat ke bursa saham baru mencapai 5 persen. Kemudian investasi dari luar negeri dalam perencanaan kota. Dan terakhir adalah hutang sebagai salahsatu solusinya. 

Tetapi tentu saja "hutang yang fokus" kepada usaha pemindahan ibukota, dan hutang untuk rakyat. Era Orba telah memberikan pelajaran bagaimana pengelolaan hutang yang tidak prudent. Hutang bukan untuk (kesejahteraan) rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun