Mohon tunggu...
Yuni Retnowati
Yuni Retnowati Mohon Tunggu... Dosen - Biarkan jejakmu menginspirasi banyak orang

Dosen komunikasi penyuka film horor dan thriller , cat lover, single mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Hati yang Terluka (Bagian 3)

3 Juni 2020   10:22 Diperbarui: 3 Juni 2020   10:20 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pexels.com

Keinginan Santi agar Audrey menyelesaikan pendidikan dasar modelling, akting dan presenter tidak terpenuhi. Dua bulan menjelang akhir program Audrey sudah mogok latihan. Pemicunya sederhana saja. Pada waktu latihan dia lupa membawa tank top. Sebenarnya tak apa-apa. Mas Adi yang melatih cat walk pun tidak mempermasalahkannya. Entah kenapa tiba-tiba saja Audrey sangat kesal lalu tidak mau ikut latihan.

Santi membujuknya namun tak berhasil malah dia menghilang. Semula Santi mengira Audrey ke toilet atau berjalan-jalan di halaman depan. Dicari-carinya tak juga ditemukan. Bahkan  sampai  latihan berakhir sekitar jam enam. Santi sangat khawatir  lalu terpaksa menghubungi Rama. Curiga jangan-jangan anak itu sudah menunggu di luar gedung untuk mengajak Audrey kabur di tengah-tengah latihan. Ternyata Rama sama sekali tidak tahu di mana Audrey berada.

"Kalau begitu lapor polisi saja ya?" Santi meminta pertimbangan.

"Kalau sudah 24 jam baru bisa lapor Tante," cegahnya meski suaranya terdengar cemas.

Karena tak berhasil menemukan Audrey di sekitar tempat latihan, Santi mulai mengendarai sepeda motor menyisir jalan-jalan di sekitar situ. Siapa tahu Audrey sedang berjalan kaki pulang. Pasti belum terlalu jauh. Berkali-kali dia memutari  perempatan dan pertigaan di sekeliling tempat latihan. Sia-sia juga usahanya. Kecemasannya semakin memuncak membayangkan hal-hal buruk yang mungkin menimpa Audrey. Banyak lelaki jahat berkeliaran di jalan saat malam. Ya, Tuhan, selamatkan anakku, doanya dalam hati sambil mulai berurai air mata.

Meski sudah mengendarai sepeda motor pelan-pelan menuju rumah, sosok Audrey tak juga tertangkap pandangannya. Ke mana anak itu? Jalanan yang dilewati tak menunjukkan adanya sosok anak perempuan seusia Audrey yang sedang berjalan kaki. Ah, jangan-jangan dia pulang naik taksi. Tidak mungkin. Audrey tidak punya uang untuk membayar taksi. Lalu ke mana? Santi menentramkan hati, bisa jadi  Audrey tidak mengambil rute yang biasa dilewati kalau pulang dari tempat latihan supaya tidak bisa ditemukan Santi. Pasti dia sengaja menghindar agar tak berpapasan dengan Santi.

Sampai di rumah Audrey tetap tak ditemukan. Meski untuk meyakinkan diri, Santi berjalan ke sekitar rumah dan mencoba menanyakan kepada beberapa tetangganya kalau-kalau melihat Audrey. Hasilnya tetap nihil. Santi terduduk lesu di ruang tengah. Kenapa Audrey melakukan pemberontakan dengan cara seperti ini?

Langkah-langkah sepatu terdengar mendekat hingga di ambang pintu samping rumah. Sosok Audrey tampil sempurna di sana dengan sepasang sepatu yang jebol bagian depannya. Wajahnya menahan amarah yang tersirat dari matanya. Santi mendekapnya tapi ditepiskan dengan kasar.

"Kamu bikin Mama kuatir, Drey. Ke mana saja kamu? Kamu jalan kaki ya? Lewat mana kok Mama nggak lihat?"

Audrey tak menjawab sepatah kata pun, dia segera menghilang di balik pintu kamarnya. Mengunci pintu beberapa lama untuk meredam amarah yang masih menguasai dirinya. Barangkali itu cara terbaik untuknya. Santi membiarkan saja hingga beberapa lama.

"Ayo makan dulu Drey!" bujuknya setelah dirasa cukup waktu bagi Audrey untuk menenangkan perasaannya.

"Aku nggak mau lagi latihan modelling," katanya sesaat setelah duduk  menghadap meja makan.

"Kenapa? Sayang lho Drey tinggal dua bulan lagi ujiannya," bujuk Santi merasa tak rela Audrey berhenti di tengah jalan

"Sudah cukup, Ma. Aku nggak mau lagi. Kata Mama dulu modelling buat meningkatkan PD. Aku sudah PD kok Ma. Aku nggak suka kalau  lomba modelling semua pesertanya dapat piala.  Nggak seru Ma , nggak  fair kompetisinya. Jelek juga bisa  jadi juara asal mau beli pialanya."

Begitulah kenyataannya. Audrey sudah bisa membaca keadaan. Lomba modelling beda dengan lomba menyanyi. Kalau lomba menyanyi hanya ada tiga atau paling banyak lima juara yang diperebutkan dengan persaingan yang sangat ketat, lomba modelling hanyalah semacam penghiburan untuk semua peserta karena pasti mendapatkan predikat juara. 

Entah itu juara berbakat, juara favorit atau apa sajalah namanya. Menurut penyelenggara lomba semacam itu bertujuan untuk memotivasi para peserta agar semakin giat berlatih. Ketika Audrey masih kecil dulu, lomba seperti ini mungkin bagus untuknya. Setelah dia besar dan bisa memaknai arti sebuah perjuangan meraih kejuaraan, lomba yang pasti memberikan hadiah tidak lagi menarik minatnya.

"Tapi hari Minggu besok kamu ikut fashion show ya? Ini yang terakhir. Kamu sudah dibuatkan baju pesta sama Mbak Lisna lho. Dia  juga kan ujian merancang busana pesta. Kalau kamu nggak pakai busana rancangannya bisa-bisa dia nggak lulus karena nggak ada nilai."

Fashion show itu pun diikuti Audrey dengan setengah hati. Rama ikut mengantarkan atas permintaan Audrey. Kehadiran Rama ini justru membuat Audrey semakin merasa tertekan. Karena tak pernah terlibat dalam acara seperti itu, Rama menjadi sangat tidak sabar menunggu dari  persiapan hingga acara dimulai. Jam karet memang sudah menjadi tradisi sehingga tidak bisa berharap acara selesai tepat waktu. Rama yang kesal menunggu menumpahkan kekesalannya pada Audrey yang lantas menangis  karena  ikut-ikutan kesal dan tak sabar menunggu giliran. Padahal Audrey harus ganti pakaian tiga kali untuk ditampilkan dalam fashion show bersama teman-teman dari LPK Adana.

Sejak fashion show itu kelihatannya hubungan Audrey dan Rama  menjadi kurang baik. Mereka sering bertengkar entah apa penyebabnya. Masih tetap sering SMS dan menelpon tapi selalu menimbulkan masalah. Santi ikut-ikutan terganggu. Begitu seringnya Audrey memfokuskan perhatian pada HP-nya menyulut kemarahan Santi.

"Kamu kok nggak belajar  Drey. Dari tadi SMS terus. Sudah. Berhenti SMS-nya. Belajar !" bentak Santi.

Tak mempan oleh bentakan, sebentar-sebentar terdengar keypad HP-nya dipencet-pencet . Tanpa bicara lagi Santi segera merebut HP dari tangan Audrey. Terjadi tarik menarik lama sampai akhirnya HP itu terlepas juga dari tangan Audrey. Berpindah ke tangan Santi. Tak lama kemudian Audrey kembali berusaha merebut HP-nya tapi tak berhasil. Santi mengamankan HP itu dengan menyimpan di laci lemari yang kemudian dikunci.

"Kamu sudah kelas tiga. Sebentar lagi ujian. Konsentrasi belajar. Jangan pegang HP waktu belajar !"

"Ke sekolah juga nggak boleh bawa HP sekarang, di rumah juga nggak boleh," protesnya dengan wajah bersungut-sungut.

"Kamu kalau nggak  nurut Mama jangan tinggal di sini. Sana pergi saja sama Rama. Ikut dia saja tinggal di rumahnya. Kemasi pakaian dan buku-bukumu. Pindah saja kamu ke rumah Rama!" gertaknya dengan emosi meninggi.

Kalau HP Audrey disita begitu Rama ikut-ikutan memohon agar Santi segera mengembalikan HP Audrey. Berulangkali Rama SMS dengan nada yang sama. ABG yang sedang berpacaran itu memang begitu sulit dipisahkan. HP menjadi sarana penghubung utama untuk tetap melanjutkan interaksi meskipun tak lagi bisa bertemu secara fisik. Ketika HP diambil maka terputuslah interaksi yang membuatnya seperti ikan kekurangan oksigen akan menggelepar menyongsong kematian.

Dengan gelisah Audrey mencoba menekuni buku-buku pelajarannya. Matanya sesekali mencuri pandang ke arah Santi yang tiba-tiba menjadi seperti batu besar di pinggir kali. Menjadi penghalang bagi ikan-ikan kecil yang berenang-renang di kali. Santi menungguinya belajar dengan duduk di pinggir tempat tidurnya. 

Audrey berharap kelengahannya  menjadi peluang untuk bisa mengeluarkan HP dari laci penyimpanan. Ditunggunya agar Santi beranjak meninggalkan tempatnya supaya dia leluasa menuju lemari di kamar depan. Sayangnya pikiran itu terbaca oleh Santi sehingga tetap sabar menungguinya sampai jam sembilan.  Saat waktu belajar selesai.

"Jam sepuluh kamu harus tidur biar nggak kesiangan bangun besok!" ujar Santi mengingatkan lagi.

"Mana HP-nya Ma?"

HP itu dikembalikan kepada Audrey. Bisa digunakan sampai jam sepuluh. Tapi siapa yang akan menjamin dia akan mematuhi peraturan Santi kalau sudah berada di kamarnya sendiri. SMS tak henti bahkan menerima telpon kadang terdengar lamat-lamat dari kamar depan. Keesokan paginya sulit dibangunkan karena sepanjang malam menjadi budak komunikasi dari HP-nya sendiri. Matanya selalu ingin terpejam menahan kantuk yang berat. Wajahnya pucat kurang tidur. Telinganya akan menebal dibombardir  omelan berkepanjangan.

Tidak hanya urusan HP yang membuat geram Santi, tapi juga kebiasaan Audrey pulang sekolah hingga sore. Sewaktu masih latihan modelling, Santi menjemputnya tiga kali seminggu. Dua kali untuk melanjutkan dengan latihan modelling dan sekali untuk latihan biola. Tapi sekarang Santi hanya menjemput sekali seminggu karena Audrey hanya perlu diantar latihan biola. 

Selebihnya Audrey pulang naik bis. Itulah kesempatannya  untuk bersama Rama. Seringkali mereka tidak langsung pulang. Main dulu entah ke mana. Katanya ke warnet untuk main game atau jajan di luar. Berbagai alasan muncul seperti harus mengerjakan tugas kelompok, menengok teman sakit atau harus ikut remedial test karena nilai ulangannya jelek. Selalu ada alasan yang mencegah Santi untuk meluapkan amarahnya.

Malam itu tak seperti biasanya. Telpon dari Rama tak kunjung putus. Santi mengetuk pintu kamar Audrey yang terkunci tapi tak dihiraukan. Dipanggilnya hanya menyahut pendek lalu kembali pada pembicaraan yang tak berujung pangkal. Intonasinya berfluktuasi dari tinggi ke rendah lalu berganti dari rendah ke tinggi. Frekuensinya semakin sering kemudian ring tone HP  menjerit-jerit tak mendapat tanggapan. Audrey tak lagi menjawab setiap panggilan yang masuk. Sunyi sesaat setelah itu.

Ada apa ?  Santi ingin bertanya saat itu juga. Ah, sudahlah. ABG memang labil. Biarlah Audrey punya waktu untuk mengintrospeksi hubungannya dengan Rama. Kalau putus biar saja. Itu malah yang lebih baik untuk Audrey saat ini. Rama tidak mempunyai kualitas untuk menjadi teman laki-laki yang dibutuhkan Audrey. Dulu memang Audrey mengagumi keberanian dan ketegasan Rama tapi sikap posesif dan otoriter yang kemudian menjadi sangat dominan dalam hubungan mereka mulai tidak sehat untuk perkembangan kepribadian Audrey.

"Dia baik kok Ma. Tegas dan pemberani kayak Papa," begitu dulu Audrey memujinya ketika minta ijin pacaran dengan Rama. "Dia itu agamanya  juga bagus. Aktif dalam kegiatan remaja masjid di komplek perumahannya. Di sekolah pernah menjadi juara adzan. Suaranya berkumandang  menggetarkan hati tiap kali dia adzan."

"Pintar nggak?" selidik Santi waktu itu.

"Nilainya di atasku. Matematikanya bagus. Dia bisa mengajari aku Ma."

"Wajahnya gimana ?"

Audrey tertawa menahan geli.  "Itulah Ma, wajahnya kayak Tukul."

Santi tertawa juga mendengar penuturan Audrey. "Kamu mau sama dia? Nggak malu?"  keheranan terpancar di wajah Santi.

"Tapi orangnya baik kok Ma. Dia sering menraktir teman-temannya. Kata teman-teman sebaiknya aku menerimanya."

"Jadi dia sudah nembak kamu?" selidik Santi merasa tambah heran.

"Iya. Teman-teman sekelas semuanya mendukung," jawabnya riang. Ya, tentu saja, batin Santi. Mereka sudah disuap Rama untuk membujuk Audrey agar mau menerimanya.

Barangkali karena itulah Rama menjadi sangat posesif karena takut kehilangan Audrey. Banyak anak laki-laki lain yang ingin mendekati Audrey. Sayangnya peluang itu telah tertutup oleh Rama yang mencengkeram kuat-kuat Audrey agar tak pernah terlepas dari genggamannya.

"Ma, ini teman sekelasku yang namanya Geofany.  Cakep kan Ma?" pernah Audrey menunjukkan foto di HP-nya. ABG laki-laki itu memang berwajah lumayan enak dilihat.

"Kamu naksir dia?" tebaknya seperti sudah tahu arah pembicaraan Audrey. Wajahnya hanya tersipu merespon pertanyaan Santi.

Seperti dituntun untuk mengikuti kisah asmara yang berliku, Santi menjadi ingin tahu apakah sekarang Audrey sudah putus dari Rama. Menanyakan secara langsung tidak akan mendapat jawaban memuaskan. Audrey pintar mengelak atau mengarang kisah lain yang menyenangkan untuk didengar. Karena itu secara sembunyi-sembunyi Santi mulai membaca SMS di inbox HP Audrey agar tahu kisah apa yang sedang dimainkan anak gadisnya.

Benar dugaannya ternyata Audrey menyukai Geofany. Rama mengetahui itu dan mulai melakukan ancaman kepada Audrey. Kata-kata kasar yang mengancam untuk melakukan kekerasan fisik nampaknya sudah sering ditujukan kepada Audrey. Begitu seringnya hingga sudah tak mempan. Audrey sudah kebal dengan berbagai makian dan ancaman. Meski bagi Santi semua itu terasa menyakitkan hati. Emosinya memuncak setiap kali membaca SMS Rama yang penuh dengan caci maki. Dari dulu pun dia sudah tahu dan kerapkali menyuruh Audrey segera mengakhiri hubungan. Tapi bagaimana bisa ke luar dari hubungan itu ? Audrey pasti ketakutan.  Terpaksa bertahan dengan keadaan yang dihadapinya. 

Kalau saja dia bisa masuk ke dalam kehidupan mereka untuk menyelesaikan hubungan itu. Ah, begitu lemahnya Santi menghadapi anak-anak itu. Tak mengambil tindakan apapun. Tak punya kekuatan memaksa. Kata-katanya selama ini dianggap angin lalu oleh Audrey. Pertengkaran kecil mewarnai hari-hari yang mereka jalani berdua di rumah. Tak pernah ada penyelesaian. Berjalan begitu saja sekehendak hati sesuai takdir yang akan terjadi . Tak ada upaya mencegah petaka. Pasrah berserah pada keadaan dan kebaikan Tuhan. Doa-doa yang dipanjatkan setiap saat mungkin saja perlu perjalanan panjang untuk mendapat jawaban.

Ketika ujian akhir sekolah selesai, kelegaan menghampiri diri mereka berdua. Santi dan Audrey merasa terbebas dari tekanan yang lama bertahan mengisi hari-harinya. Meskipun hasilnya belum diumumkan, Audrey merasa pasti lulus dari SMP. Tinggal berdoa mudah-mudahan hasilnya bagus sehingga bisa masuk SMA yang juga bagus.

Santi berharap akhir dari hubungan Rama dan Audrey akan segera tiba. Diperhatikan akhir-akhir ini, Audrey sering  tak menjawab telpon dari Rama. Bahkan beberapa kali Rama datang tak ditemuinya. Terpaksa Santi berbohong mengatakan Audrey masih tidur atau pergi. Kalaupun Rama tahu Audrey ada di rumah maka akan dikatakan kalau Audrey sedang tak ingin diganggu atau tak mau bertemu dengan Rama.

Usaha Rama untuk bertemu Audrey belum juga membuahkan hasil hingga beberapa hari terakhir ini. Wajahnya kusut, matanya yang dibantu kaca mata tebal untuk memperjelas pandangan itu terlihat  makin letih. Ada warna kemerahan di putih matanya. Bisa jadi kurang tidur.

"Saya harus bertemu Audrey sekarang, Tante!" pintanya memelas.

"Tapi dia nggak mau ketemu kamu," ketus suara Santi menjawab.

"Tolong, Tante . Sebentar saja. Ini sangat penting!" kembali Rama memohon. Tertunduk wajahnya menunggu jawaban yang akhir-akhir ini selalu tak mengenakkan.

"Sudahlah Rama, kamu pulang saja!" suara Santi setengah memaksa.

Gontai langkahnya meninggalkan halaman rumah. Baru saja Santi akan menutup pintu, Rama kembali lagi ke teras rumahnya. Duduk di sana menunggu tanpa berkata apapun.

"Rama, kamu tidak perlu menunggu. Audrey tidak mau bertemu kamu lagi," tegas suara Santi.

"Saya akan tunggu sampai dia mau bertemu saya. Ijinkan saya di sini , Tante. Saya  tidak akan pulang sebelum bertemu Audrey," lirih namun tegas ucapan Rama tak bisa membuat Santi mencegahnya apalagi mengusirnya. Dibiarkan saja Rama duduk di teras sekuatnya dia. Kalau sabar menunggu mungkin Audrey akan menemuinya. Terlihat dia terus berusaha menelpon dan mengirim SMS  kepada Audrey.

"Drey, kamu temui dia biar selesai masalahnya!" bujuk Santi di dalam kamar.

"Nggak mau , Ma. Dia nggak mau diajak putus," keluhnya lirih.

"Dibicarakan baik-baik sana. Nanti kamu diteror terus kalau begini caranya. Ayo, hadapi  Drey. Apa Mama perlu ikut?"

"Nggak..nggak.. Biarin saja dia nunggu di depan!"

"Ayo Drey, kamu  nggak boleh begini. Temui dan bicara baik-baik. Mama ada di dalam kalau kamu membutuhkan!"

"Nggak ..!"

Kesabaran Rama ternyata terbatas, dia pulang setelah pamit lagi kepada Santi. Dia berjanji akan datang lagi esok pagi karena masalahnya belum selesai. Tak berniat membagi kisahnya dengan Santi meski kelihatan memberati langkahnya ketika pulang.

"Ada apa Drey kalian ini? Mau putus saja nggak berani menghadapi," gerutu Santi siang itu setelah Rama menjauh.

Bukan berita bagus yang didapat esok paginya ketika pagi-pagi sekali Rama kembali datang. Pintu pagar rumahnya masih terkunci sementara Santi sedang menyetrika setumpuk pakaian di belakang. Terpaksalah dia ke depan untuk membukakan pintu pagar.

"Audrey belum bangun," sambutnya dengan sedikit kesal.

"Tidak apa-apa Tante, saya akan menunggunya lagi."

"Kamu ini kenapa ? Kalau sudah putus ya sudah jangan maksa lagi," tak urung Santi  melepaskan kejengkelannya  yang ditahan sejak kemarin.

"Maaf  Tante, ada yang mau saya bicarakan juga dengan Tante. Ini penting Tante," Rama memohon sembari melangkah mengikuti Santi masuk ke rumah.

"Ada apa Rama?"

"Boleh saya duduk, Tante?" pintanya yang berbalas anggukan Santi kemudian setelah duduk dan menata hati keluarlah serangkaian kalimatnya

"Maafkan saya Tante.  Saya dan Audrey sudah berhubungan terlalu jauh."

"Apa katamu tadi?"  Santi terkejut dan tak percaya pada pendengarannya sendiri.

"Tante, saya khilaf. Saya tak bisa mengontrol nafsu saya. Kejadiannya tak sengaja  waktu tiduran di ruang tamu sepulang sekolah. Setelah itu di warnet, " tutur Rama jujur seperti tanpa beban.

Santi terdiam menahan dadanya yang semakin terasa sesak. Mulutnya seolah terkunci menyekap segala amarah yang berdesakan ingin membebaskan dirinya.

"Saya  bertanggung jawab, Tante.  Saya akan bicara pada orangtua saya. Saya akan menikahi Audrey," janjinya dengan suara bergetar.

"Apa ? Menikah ? Ah, kamu ini !"  Santi tak bisa lagi meneruskan kalimatnya. " Audrey !"

Masih tak ada sahutan dari dalam kamar. Tidurnya Audrey selalu sulit diganggu. Butuh usaha keras untuk membuatnya bangun. Santi menata hatinya sendiri sebelum mengambil tindakan. Apakah cukup bijak memaksanya bangun  sekarang untuk duduk bersama membicarakan langkah yang akan diambil kemudian? Mata Santi berkunang-kunang melihat sekelilingnya. Wajah Rama pun kabur dalam pandangannya. Dadanya semakin sesak sampai-sampai sulit untuk bernapas.  Tak ada lagi kata-kata yang bisa ke luar dari mulutnya.

"Sudah, Rama, kamu pulang dulu. Tante perlu waktu untuk menyelesaikan semua ini," suaranya tercekat di tenggorokan.

"Maafkan saya Tante. Saya sangat mencintai Audrey. Saya nggak mau berpisah dengannya. Saya akan menikahi Audrey," kalimatnya meluncur lancar.

Rama akhirnya mau pulang meski belum bertemu dengan Audrey. Meninggalkan Santi sendiri dalam kegundahan. Apa yang baru saja didengar dari Rama tadi masih membuatnya shock. Bagaimana mungkin anak seusia mereka sudah berbuat sejauh itu? Kenapa Santi tak pernah menaruh curiga atau mencoba tindakan preventif. Pikirannya tak mampu menjangkau perbuatan semacam itu. Dipikirnya Audrey akan bahagia dengan memiliki teman laki-laki yang bisa menjadi kakaknya. Menjaga dan melindungi dengan sepenuh hati.

 Seorang lelaki adalah pelindung dan penjaga bagi perempuan. Hanya itu yang ada dalam benaknya ketika mengijinkan Audrey berpacaran dalam usia dini. Santi meniadakan prasangka, kekhawatiran dan mengusir jauh-jauh sikap paranoid para orangtua yang  berlebihan memproteksi anak gadisnya. Nyatanya apa yang didapatinya kini adalah kado buruk yang tak pernah diharapkan.

Audrey masih pulas memeluk mimpi-mimpinya. Meraih harapan yang melayang-layang menggodanya. Di salah satu sudut ruangan  lelehan air mata Santi tak jua susut  seiring  tergelincirnya waktu.  Senyap menyekap lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun