Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Klojen, Tentang Bediding dan Ngopi di Sore Itu

25 Juli 2025   18:49 Diperbarui: 28 Juli 2025   07:25 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster bioskop jadul dilihat dari sebuah kedai kopi di Klojen | dokumentasi pribadi 

"Jadi ke Klojen?" tanya anak saya sambil mengeluarkan sepeda motornya. Jam menunjukkan pukul setengah lima sore.

"Ayo," kata saya sambil merapatkan jaket. Benda satu ini menjadi sahabat akrab saya akhir-akhir ini, terutama kalau keluar rumah.

Ya, dalam beberapa hari ini, terutama saat pagi dan malam hari udara terasa begitu dingin. 

Bediding, kata orang orang. Fenomena ini selalu terjadi di kisaran bulan Juni dan mencapai puncaknya pada bulan Agustus, ditandai dengan udara yang terasa begitu dingin.

Istilah bediding berasal dari Bahasa Jawa. 

Dari BMKG diterangkan bahwa fenomena ini selalu terjadi di musim kemarau karena di musim ini tutupan awan sangat sedikit sehingga panas permukaan bumi yang diperoleh dari matahari lebih cepat dilepaskan ke atmosfer. 

Akibatnya udara terasa lebih dingin, terutama pada malam hingga pagi harinya.

Paling enak saat bediding adalah 'kemulan' selimut tebal atau makan dan minum yang anget. Ya, hawa yang dingin  membuat kita gampang merasa lapar.

Suasana jalan di sekitar Klojen sore hari | dokumentasi pribadi 
Suasana jalan di sekitar Klojen sore hari | dokumentasi pribadi 

Sepeda motor kami terus melaju di jalanan kota Malang. Beberapa lampu jalan mulai menyala. Sayup-sayup suara qiroah di masjid mulai terdengar karena sebentar lagi  Maghrib tiba.

Kami berhenti di perempatan jalan Pattimura sekitar pasar Klojen.

Suasana  Klojen sore itu lumayan ramai. Kendaraan lalu lalang dan kedai-kedai mulai ramai didatangi pengunjung. Lampu aneka warna mulai menghiasi bagian depan cafe.

Klojen adalah surga pecinta kopi. Ada berbagai kedai kopi di sini yang tampaknya tak pernah sepi, bahkan di pagi hari, seperti Kedai Kopi Abah, Kedai Kopi Hwie, Sido Mulia Klodjen Djaja 1956,  juga Kopi Klojen 

Suasana 'lawas' yang tercipta di tempat ini membuat kegiatan ngopi terasa asyik. 

Oh ya, 'ngopi' memang berarti minum kopi bareng. Tapi dalam konteks sekarang ngopi lebih bermakna berkumpul, ngobrol bareng dalam suasana santai dan hangat sambil ditemani minuman, meski kadang bukan kopi.

Ngopi makin asyik jika ada camilan yang juga ikut menemani 

Suasana jaman dulu sangat terasa ketika kita melihat poster- poster bioskop yang dipasang  di toko pas di perempatan jalan. Corong atau TOA yang ada di bawah poster memperdengarkan lagu- lagu jadul.  The Beatles dan Beeges bergantian mengisi ruang udara saat itu.

Suaranya timbul tenggelam ditelan ramainya lalu lintas di sekitarnya.

Kami segera masuk ke sebuah kedai kopi. Ini adalah kunjungan kedua saya. Sebelumnya saya sudah pernah ke Kopi Klojen ini bersama teman teman.

Cemilan teman ngopi | dokumentasi pribadi 
Cemilan teman ngopi | dokumentasi pribadi 

Kedai yang sangat unik. Lokasinya pas di perempatan jalan. 

Begitu masuk, suasana vintage sangat terasa.

Ornamen lawas yang ada  seperti jam dinding, piring hias ataupun iklan zaman dulu, membuat kita seolah terlempar ke masa lalu.

Apalagi di salah satu dinding terdapat peta sekitar Alun-alun Tugu pada zaman Belanda dulu.

Peta Malang atau Malang Landkaart yang sangat sederhana, karena hanya memuat Alun-alun Tugu, Balai Kota, SMA Tugu,  stasiun kereta api serta daerah sekitar Klojen.

Malang Landkaart | dokumentasi pribadi 
Malang Landkaart | dokumentasi pribadi 

"Ibuk pesan apa?" tanya anak saya, setelah kami mengamati katalog menu sebentar. 

"Susu dan rempah saja," kata saya. Sebenarnya kepingin ngopi, tapi wedang rempah sepertinya lebih cocok untuk sore yang semriwing ini.

"Matcha sama susu dan rempah ya Mas," kata anak saya pada penjaga kedai yang dijawab dengan anggukan dan senyum ramah.

"Matcha dingin?" kata saya heran. Sungguh tak habis pikir, hawanya dingin seperti ini kok pesan minuman yang ada esnya. 

"Tidak apa Buk, pingin coba rasanya matcha," katanya sambil tertawa.

Kami duduk dengan posisi tepat menghadap poster bioskop di seberang kami. 

Ada poster Jaka Sembung, Saur Sepuh dan film Warkop DKI yang berjudul Gengsi Dong.

Aih, jadi ingat zaman dulu ketika bioskop sangat berjaya di kota Malang. 

Saat di mana melihat-lihat poster di  depan gedung-gedung bioskop adalah sebuah rekreasi yang murah meriah.

Sambil menunggu kami berbincang tentang ramainya bioskop di zaman dulu.

"Yang paling terkenal ya dekat rumah kita itu Le, Bioskop Kelud," cerita saya.

"Ooh, ada bioskop di situ dulu?" tanya anak saya tertarik.

"Ada.. rame sekali Le, misbar itu," kata saya.

"Apa itu misbar?"

"Kalau gerimis bubar," jawab saya tertawa. 

Ya, dulu ada Bioskop Kelud yang berlokasi di Jl Kelud Malang yang setiap hari penuh penonton. 

Tiket masuknya jauh lebih murah dari bioskop yang lain karena gedung bioskop ini tidak punya atap yang berakibat jika gerimis atau hujan penontonnya bubar, cari tempat untuk berteduh.

Bioskop Kelud itu sekarang masih berdiri dan fungsinya berubah untuk kegiatan lain. Kadang dipakai pameran buku, atau pernah juga untuk senam pagi.

Susu rempah dan matcha | dokumentasi pribadi 
Susu rempah dan matcha | dokumentasi pribadi 

Tak berapa lama pesanan kamipun datang. Minuman matcha dingin berwarna hijau dalam gelas agak besar, susu rempah dalam wadah seperti ceret kecil dan sebuah gelas kosong.

Lucu, pikir saya melihat ceretnya.

Saya menuangkan susu rempah ke dalam gelas kosong dan menikmatinya pelan- pelan. Luar biasa. Hangatnya susu berpadu dengan wanginya kayu manis, jahe, cengkeh dan kapulaga membuat rasa yang demikian khas. Sangat sedap.

"Mau coba?" kata saya pada anak saya.

"Enak ya?" tanya anak saya.

Saya sodorkan gelas saya.

"Yo enakan ini," kata saya.

"Hmm, enak ya.. aneh rasanya," 

Saya tertawa. Anak zaman sekarang kadang lucu, pikir saya. Rasa rempah dianggap aneh..

Suara azan dari kampung sekitar mulai terdengar. Kami diam sejenak sambil menikmati susu rempah yang benar- benar pas untuk mengusir rasa dingin di sore itu. Matcha anak saya sudah habis sejak tadi.

Menuangkan susu rempah | dokumentasi pribadi 
Menuangkan susu rempah | dokumentasi pribadi 

"Ayo pulang," ajak saya ketika azan selesai.

Bergegas kami menuju parkiran untuk mengambil sepeda.

Klojen yang kian ramai. 

Orang yang berlalu lalang semakin banyak. Beberapa di antaranya mengenakan baju takwa untuk segera sholat di masjid.

Sepeda motor kami berjalan lewat Pattimura, Celaket, Semeru dan terus menuju jalan  pulang. 

Meski hari semakin gelap, hangatnya susu rempah, obrolan serta kenangan tentang masa lalu membuat  bediding hari itu tidak begitu terasa dingin.

"Kapan- kapan ke sini lagi ya, wedangnya enak," kata anak saya di sela ramainya suara kendaraan lalu lintas yang makin ramai.

Sekedar catatan sore di musim bediding. Salam Kompasiana:)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun