Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Dirimu dalam Wajah Mereka

27 Januari 2021   11:50 Diperbarui: 27 Januari 2021   12:07 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Unsplash

Sepeda motor berhenti di depan pintu gerbang TPU. Tukang parkir segera menunjukkan tempat memarkir sepeda. Aku segera turun dengan digandeng anak laki-lakiku. Tak berapa lama sepeda motor yang lain sampai pula di parkiran. Pengemudinya dua laki laki. Ya, keduanya anakku juga. Kami berempat memang berjanji di depan parkiran.

Kami memasuki gerbang TPU  dua-dua karena jalannya sempit.  Anak laki-laki yang terbesar paling hafal jalan menuju tempat peristirahatanmu.  Pohon-pohon besar di tepi jalan masuk memberikan suasana teduh dan bisu.  Hanya kadang gemerisik daunnya terdengar karena tiupan angin. 

Aku dan anak-anak terpekur di samping makam dengan nisan putih bertuliskan namamu.  Anak-anak mengeluarkan buku doa dan mulai membacanya

Maafkan aku..  Bisikku.  Jika aku belum berani menjengukmu itu karena kepergianmu yang tiba-tiba sangat membuatku terpukul saat itu.  Aku yang biasanya penakut dan selalu dilindungi tiba-tiba kau tinggalkan begitu saja dengan anak-anak yang masih kecil.

Aku sempat membenci para dokter saat itu.  Bukankah mereka mengatakan jantungmu baik-baik saja?  Kenyataannya sepulang dari rumah sakit,  hanya setengah hari tiba-tiba kamu anfal dan langsung pergi meninggalkan kami semua.

Aku sempat tidak terima.  Pada dokter kutanyakan mengapa kamu pergi saat dinyatakan kondisimu sudah membaik?  Mereka hanya menggeleng.  Itu rahasia Tuhan Bu,  kata mereka.  Rahasia Tuhan?  Apakah itu bukan wujud ketidakmampuan mereka melakukan diagnosa yang akurat?  Aku ingin protes.  Tapi untuk apa?  Kamu yang terbujur kaku di sudut ruang dengan mulut tersenyum seolah telah mengikhlaskan semuanya.  Kamu tak mungkin kembali.

Para pelayat mulai meninggalkan rumah  satu persatu.  Tinggal aku dan anak anak. Mereka belum mengerti apa-apa.  Mereka hanya tahu tumpuan harapannya adalah aku ibunya. 

Segenap keberanian dan semangat kukumpulkan. Kupaksakan diriku bangkit meski dengan hati yang berdarah-darah. Anak-anak hanya tahu tentang ibunya yang  selalu tampak ceria dalam mengisi hari-harinya.  Suatu saat menjelang dewasa satu dari mereka berkata.  "Aku kasihan pada Ibuk .."

Ah, hatiku serasa dicubit saat itu. 

"Selama kamu melihat Ibuk masih bisa tersenyum,  yakinlah bahwa semua baik-baik saja, " kataku menenangkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun