Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017) dan Hipotimia (2021). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis refleksi dan esai di berbagai platform digital. Saya percaya bahwa kata-kata punya cara sendiri untuk menyentuh dan menyembuhkan hati seseorang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mindfulness di Dunia yang Bising: Seni Menjaga Hening di Dalam Diri

9 Agustus 2025   20:57 Diperbarui: 10 Agustus 2025   06:56 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Seorang Pria Sedang Memejamkan Mata. (Sumber Foto: Pexels.com)

Hidup Cepat, Napas Pendek

Di zaman di mana notifikasi ponsel lebih sering terdengar daripada suara burung di pagi hari, hidup terasa seperti balap lari maraton tanpa garis finish. Kita terbiasa mengejar target, diburu jadwal, kadangkala sibuk mengejar validasi, sampai lupa untuk sekadar duduk, menarik napas, dan bertanya: "Sebenarnya apa tujuan dari semua kesibukan ini?"

Pernahkah Anda mengalami hari di mana fisik Anda baik-baik saja, tapi pikiran terasa kusut dan buntu? Rasanya seperti kelelahan tanpa tahu dari mana sumber lelah itu berasal.

Saya pun pernah (bahkan sering) berada di fase itu---dan jujur saja, rasanya sangat tidak nyaman. Saya mencoba mengatasinya dengan the hangat kesukaan saya, menonton video-video hiburan di internet, atau sibuk mencari kesibukan lain, tapi ternyata itu semua hanya menunda rasa penat yang sesungguhnya masih tetap ada.

Rasa itu tidak hilang, hanya merubah diri, bersembunyi di balk rasa puas sesaat, kemudian kembali saat hati mulai kembali tersesat.

Kemudian tanpa sengaja saya menemukan satu konsep sederhana, tapi sulit diterapkan: mindfulness. Awalnya saya pikir ini hanya istilah keren untuk meditasi. Tapi ternyata jauh lebih luas dan lebih dalam. Di situlah saya belajar bahwa wellness bukan sekadar soal tubuh yang sehat, melainkan keseimbangan utuh antara mental, fisik, emosi, dan spiritual. Sesuatu yang biasa disebut sebut sebagai wellness holistic.

Mindfulness & Wellness Holistic Lebih dari Sekedar Tren Instagram

Banyak orang yang menggambarkan mindfulness dengan pose seseorang yang duduk bersila di pinggir pantai, mata terpejam, sambil mengenakan pakaian putih longgar. Gambaran itu indah dan tidak sepenuhnya salah, tapi sulit untuk bisa melakukannya di kehidupan nyata di saat-saat ini. Dimana jangankan kita bisa melihat pantai dan merasakan ketenangan, seringkali bos menelepon dan nge-chat soal pekerjaan sangat amat random waktunya. Iya, kan?

Secara sederhana, mindfulness sebenarnya adalah kesadaran penuh akan apa yang sedang kita alami saat ini, baik itu bernapas, rasa di tubuh, atau pikiran yang lewat dan sedang kita pikirkan saat ini. Ini adalah soal hadir utuh di momen sekarang, tanpa sibuk menyesali masa lalu atau cemas berlebihan soal masa depan.

Sementara wellness holistic adalah konsep merawat diri secara menyeluruh. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental, emosional, dan spiritual. Sebab, tubuh yang sehat tanpa mental yang tenang ibarat rumah yang catnya rapi tapi fondasinya retak.

Kenapa Susah Diterapkan?

Kalau mindfulness adalah hanya soal duduk diam dan menarik napas, mungkin semua orang sudah bahagia sekarang, karena sebegitu mudahnya mencapai tahap itu. Tapi kenyataannya tidak semudah itu, tantangannya cukup banyak. Beberapa diantaranya adalah:

  • Budaya Produktif yang Berlebihan
    Kita hidup di era di mana istirahat seringkali dianggap malas. Bahkan ketika sedang libur, kita merasa bersalah karena kita tidak melakukan apa-apa. Padahal, istirahat sendiri adalah bagian dari cara untuk meningkatkan produktivitas.
  • Distraksi Digital
    Notifikasi dari ponsel adalah musuh nomor satu mindfulness. Ironisnya, sebagian besar orang masa kini tidak bisa lepas dari sosial media dan konten yang kita konsumsi dari gadget kita justru membuat pikiran kita makin penuh, bukannya tenang.
  • Tekanan Sosial
    Ada standar sosial tak tertulis yang menuntut kita untuk selalu terlihat baik-baik saja walau hujan badai besar sedang menerpa kehidupan kita di balik layar. Akibatnya, kita sulit jujur pada diri sendiri tentang rasa lelah atau sedih.

Saya sendiri pernah merasa saya hidup, namun seperti mesin. Bangun pagi, kerja, pulang, tidur, ulangi lagi di keesokan pagi. Sampai akhirnya saya sadar, ini bukan kehidupan yang ingin saya jalani selamanya. Di titik itulah saya mulai mencoba mencari tahu tentang mindfulness.

Wellness yang Jadi Barang Dagangan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun