Hidup Cepat, Napas Pendek
Di zaman di mana notifikasi ponsel lebih sering terdengar daripada suara burung di pagi hari, hidup terasa seperti balap lari maraton tanpa garis finish. Kita terbiasa mengejar target, diburu jadwal, kadangkala sibuk mengejar validasi, sampai lupa untuk sekadar duduk, menarik napas, dan bertanya: "Sebenarnya apa tujuan dari semua kesibukan ini?"
Pernahkah Anda mengalami hari di mana fisik Anda baik-baik saja, tapi pikiran terasa kusut dan buntu? Rasanya seperti kelelahan tanpa tahu dari mana sumber lelah itu berasal.
Saya pun pernah (bahkan sering) berada di fase itu---dan jujur saja, rasanya sangat tidak nyaman. Saya mencoba mengatasinya dengan the hangat kesukaan saya, menonton video-video hiburan di internet, atau sibuk mencari kesibukan lain, tapi ternyata itu semua hanya menunda rasa penat yang sesungguhnya masih tetap ada.
Rasa itu tidak hilang, hanya merubah diri, bersembunyi di balk rasa puas sesaat, kemudian kembali saat hati mulai kembali tersesat.
Kemudian tanpa sengaja saya menemukan satu konsep sederhana, tapi sulit diterapkan: mindfulness. Awalnya saya pikir ini hanya istilah keren untuk meditasi. Tapi ternyata jauh lebih luas dan lebih dalam. Di situlah saya belajar bahwa wellness bukan sekadar soal tubuh yang sehat, melainkan keseimbangan utuh antara mental, fisik, emosi, dan spiritual. Sesuatu yang biasa disebut sebut sebagai wellness holistic.
Mindfulness & Wellness Holistic Lebih dari Sekedar Tren Instagram
Banyak orang yang menggambarkan mindfulness dengan pose seseorang yang duduk bersila di pinggir pantai, mata terpejam, sambil mengenakan pakaian putih longgar. Gambaran itu indah dan tidak sepenuhnya salah, tapi sulit untuk bisa melakukannya di kehidupan nyata di saat-saat ini. Dimana jangankan kita bisa melihat pantai dan merasakan ketenangan, seringkali bos menelepon dan nge-chat soal pekerjaan sangat amat random waktunya. Iya, kan?
Secara sederhana, mindfulness sebenarnya adalah kesadaran penuh akan apa yang sedang kita alami saat ini, baik itu bernapas, rasa di tubuh, atau pikiran yang lewat dan sedang kita pikirkan saat ini. Ini adalah soal hadir utuh di momen sekarang, tanpa sibuk menyesali masa lalu atau cemas berlebihan soal masa depan.
Sementara wellness holistic adalah konsep merawat diri secara menyeluruh. Tidak hanya fisik, tetapi juga mental, emosional, dan spiritual. Sebab, tubuh yang sehat tanpa mental yang tenang ibarat rumah yang catnya rapi tapi fondasinya retak.
Kenapa Susah Diterapkan?
Kalau mindfulness adalah hanya soal duduk diam dan menarik napas, mungkin semua orang sudah bahagia sekarang, karena sebegitu mudahnya mencapai tahap itu. Tapi kenyataannya tidak semudah itu, tantangannya cukup banyak. Beberapa diantaranya adalah:
- Budaya Produktif yang Berlebihan
Kita hidup di era di mana istirahat seringkali dianggap malas. Bahkan ketika sedang libur, kita merasa bersalah karena kita tidak melakukan apa-apa. Padahal, istirahat sendiri adalah bagian dari cara untuk meningkatkan produktivitas. - Distraksi Digital
Notifikasi dari ponsel adalah musuh nomor satu mindfulness. Ironisnya, sebagian besar orang masa kini tidak bisa lepas dari sosial media dan konten yang kita konsumsi dari gadget kita justru membuat pikiran kita makin penuh, bukannya tenang. - Tekanan Sosial
Ada standar sosial tak tertulis yang menuntut kita untuk selalu terlihat baik-baik saja walau hujan badai besar sedang menerpa kehidupan kita di balik layar. Akibatnya, kita sulit jujur pada diri sendiri tentang rasa lelah atau sedih.
Saya sendiri pernah merasa saya hidup, namun seperti mesin. Bangun pagi, kerja, pulang, tidur, ulangi lagi di keesokan pagi. Sampai akhirnya saya sadar, ini bukan kehidupan yang ingin saya jalani selamanya. Di titik itulah saya mulai mencoba mencari tahu tentang mindfulness.
Wellness yang Jadi Barang Dagangan
Di sisi lain, saya sering melihat konsep mindfulness dan wellness ini dikomersialisasikan habis-habisan oleh orang-orang serakah yang maunya hanya uang, uang dan uang yang lebih banyak lagi tiap-tiap hari.
Mulai dari paket-paket retreat mahal di vila eksotis yang menjual ketenangan batin dan mengaitkannya dengan view-view persawahan dan peternakan, diffuser- diffuser aromaterapi yang dijual jutaan rupiah dengan klaim bisa membuat kualitas tidur penggunanya lebih berkualitas, hingga kelas-kelas seminar bertema "menemukan diri sendiri" yang harganya setara cicilan motor.
Lucunya lagi, ada orang yang merasa sudah mencapai "spiritual mindfulness" maksimal hanya karena punya koleksi lilin aromaterapi yang banyak dan lengkap. Tidak salah jika Anda mau punya itu semua, tapi jangan sampai kita lupa bahwa konsep mindfulness tujuan akhirnya memang ketenangan batin, tapi ketenangan itu tidak dijual dan dirupakan bentuk barang.
Barang hanyalah pelengkap, alat bantu, bukan sumber utama kedamaian itu sendiri.Konsep mindfullness itu gratis dan bahkan tidak perlu Anda cari-cari sampai ke tempat yang jauh dari domisili Anda tinggal saat ini.
Pikirkan Maknanya, Bukan Besar Langkahnya
Banyak orang gagal menerapkan mindfulness karena ingin langsung melakukan perubahan besar. Padahal, kekuatan sebenarnya ada di langkah kecil yang konsisten. Menarik napas dalam di tengah macet, mengucapkan terima kasih dengan tulus kepada orang yang membantumu membawakan air minummu ketika di pantry kantor, atau menatap langit sore tanpa tergesa. Itu semua adalah usaha dan latihan.
Kesehatan mental dan fisik itu ibarat sebuah kebun. Ia tidak bisa dipaksa tumbuh dalam semalam. Kita harus terus menyiram, merawat, dan memberi waktu untuk tumbuh dan berbuah. Hasilnya baru akan terasa setelah berbulan-bulan, atau bahkan tahunan.
Hidup akan selalu punya tantangan. Kita tidak akan pernah bisa menghapus stres sepenuhnya dari pikiran kita. Tapi kita bisa belajar hidup berdampingan dengannya, dengan cara yang lebih sehat. Mindfulness dan wellness holistic bukanlah tujuan akhir yang harus dicapai, melainkan perjalanan yang harus terus dijalani.
Ketenangan tidak selalu ditemukan di puncak gunung atau pantai eksotis. Kadang, ia muncul di ruang tamu rumah kita, saat kita duduk sambil menyesap secangkir teh hangat, sambil mendengarkan suara hujan turun menghantam jalanan dan sadar bahwa saat itu kita benar-benar merasa hadir di sana.
Walau dengan segala problematikanya kita tetap bisa bahagia dengan sekedar duduk, menikmati teh dan nyanyian hujan di hari itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI