Sepeda motor berhenti di depan pintu gerbang TPU. Tukang parkir segera menunjukkan tempat memarkir sepeda. Aku segera turun dengan digandeng anak laki-lakiku. Tak berapa lama sepeda motor yang lain sampai pula di parkiran. Pengemudinya dua laki laki. Ya, keduanya anakku juga. Kami berempat memang berjanji di depan parkiran.
Kami memasuki gerbang TPU Â dua-dua karena jalannya sempit. Â Anak laki-laki yang terbesar paling hafal jalan menuju tempat peristirahatanmu. Â Pohon-pohon besar di tepi jalan masuk memberikan suasana teduh dan bisu. Â Hanya kadang gemerisik daunnya terdengar karena tiupan angin.Â
Aku dan anak-anak terpekur di samping makam dengan nisan putih bertuliskan namamu. Â Anak-anak mengeluarkan buku doa dan mulai membacanya
Maafkan aku.. Â Bisikku. Â Jika aku belum berani menjengukmu itu karena kepergianmu yang tiba-tiba sangat membuatku terpukul saat itu. Â Aku yang biasanya penakut dan selalu dilindungi tiba-tiba kau tinggalkan begitu saja dengan anak-anak yang masih kecil.
Aku sempat membenci para dokter saat itu. Â Bukankah mereka mengatakan jantungmu baik-baik saja? Â Kenyataannya sepulang dari rumah sakit, Â hanya setengah hari tiba-tiba kamu anfal dan langsung pergi meninggalkan kami semua.
Aku sempat tidak terima. Â Pada dokter kutanyakan mengapa kamu pergi saat dinyatakan kondisimu sudah membaik? Â Mereka hanya menggeleng. Â Itu rahasia Tuhan Bu, Â kata mereka. Â Rahasia Tuhan? Â Apakah itu bukan wujud ketidakmampuan mereka melakukan diagnosa yang akurat? Â Aku ingin protes. Â Tapi untuk apa? Â Kamu yang terbujur kaku di sudut ruang dengan mulut tersenyum seolah telah mengikhlaskan semuanya. Â Kamu tak mungkin kembali.
Para pelayat mulai meninggalkan rumah  satu persatu.  Tinggal aku dan anak anak. Mereka belum mengerti apa-apa.  Mereka hanya tahu tumpuan harapannya adalah aku ibunya.Â
Segenap keberanian dan semangat kukumpulkan. Kupaksakan diriku bangkit meski dengan hati yang berdarah-darah. Anak-anak hanya tahu tentang ibunya yang  selalu tampak ceria dalam mengisi hari-harinya.  Suatu saat menjelang dewasa satu dari mereka berkata.  "Aku kasihan pada Ibuk .."
Ah, hatiku serasa dicubit saat itu.Â
"Selama kamu melihat Ibuk masih bisa tersenyum, Â yakinlah bahwa semua baik-baik saja, " kataku menenangkannya.
Ya, Â semua baik-baik saja bukan? Â Sore ini kuajak anak-anak kita ke sini. Â Waktu dan tantangan membuat mereka dewasa lebih cepat. Â Mereka juga mewarisi kelembutan dan keberanianmu.
Aku masih terpekur dalam doa panjangku. Â Sayup-sayup suara tartil dari masjid memasuki gendang telingaku.
"Ibuk, sudah hampir maghrib, " ajak si kecil lembut sambil menyentuh lenganku (kamu selalu memanggil anak bungsu kita dengan si kecil , padahal dia sekarang jauh lebih tinggi dari aku) .
Aku tergeragap. Â "Ayo, Â pulang, " ajakku pelan. Â Kupandang anak-anakku satu persatu. Â Aku tersenyum. Kulihat ada dirimu dalam wajah-wajah mereka..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI