Mohon tunggu...
Yuli Anita
Yuli Anita Mohon Tunggu... Guru - Guru

Jangan pernah berhenti untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Rumah di Tikungan Jalan (Sebuah Cerita di Masa Kecil)

25 Januari 2021   14:26 Diperbarui: 25 Januari 2021   14:41 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: AyoYogya.com

"Win,  jangan cepat-cepat...," kata Marwan dengan suara gemetar.  Di antara kami bertiga dia yang paling gemuk sehingga jalannya agak lamban.

"Cepat Wan.., " kataku sedikit melambatkan langkah.

"Dasar lamban...  ," kata Dodit pada Marwan.

Malam semakin larut.  Bunyi jengkerik dan serangga malam sembuat suasana semakin mencekam. Berkali-kali kurapatkan sarung yang melingkar di leherku.  Udara malam ini  memang dinginnya minta ampun.

Di dekat tikungan kami semakin merapat. Ada rumah besar yang selalu menjadi bahan pembicaraan di antara kami.

Rumah besar itu tampak kokoh.  Diterangi sinar bulan purnama dan lampu depan yang samar membuat sosoknya seperti raksasa yang sedang duduk diam  sambil menatap siapapun yang melewatinya. Kami merasa ia adalah mahluk jahat yang siap  menerkam kami dari belakang.

Samar-samar tiba-tiba kami dengar suara tawa geli seorang nenek.  Ya,  tawa seorang nenek dari dalam rumah itu! Serempak kami saling berpandangan dan tanpa dikomando kami langsung mengambil langkah seribu. 

"Aku jangan ditinggaaal.. !" teriak Marwan memelas.  Dari suaranya aku tahu dia pasti menangis.  Tapi rasa takut yang amat sangat membuatku semakin cepat berlari meninggalkannya.

***

"Rumah itu berhantu! " kata Rino siang itu ketika kami sedang istirahat. Pembicaraan tentang rumah itu selalu menjadi topik menarik di antara  kami semua.

"Ah,  sok tahu kamu, " tukasku tak percaya

"Terserah,  kamu percaya atau tidak. Tapi kakakku pernah membuktikannya sendiri.  Suatu malam,  ketika pulang dari rumah temannya dan melewati depan rumah itu,  tiba-tiba ada asap mengepul dari cerobongnya.  Bayangkan..., Siapa yang mau memasak malam-malam? "kata Rino meyakinkan.

" Pastinya itu bangsa mahluk halus.  Kan di TV juga pernah diterangkan bahwa di sekitar kita ada mahluk mahluk tak kasat mata? " kata Jojon sok tahu. Dia adalah penggemar berat acara TV yang mengulas dunia gaib.

"Bisa jadi di situ tinggal nenek sihir yang setiap malam selalu membuat ramuan.  Ingat suara tertawa tadi malam? " kata Marwan meyakinkan.

" Ya,  nenek sihir,  yang membuat ramuan supaya bisa muda kembali,  dimana salah satu bahannya adalah anak anak kecil terutama yang gendut, " tambah Rino sambil memandang Marwan lucu.

"Yang bener kamu ini.., " kata Marwan  sambil meninju pundak Rino. Pipi gembilnya memerah karena tersinggung.

Tiba-tiba bel berbunyi,  bergegas kami berbaris di depan kelas untuk segera mengikuti pelajaran selanjutnya.

***

Malam ini langit begitu mendung.  Beberapa kali terdengar suara gemuruh pertanda hari akan hujan.  Sesudah sholat Isyak kami bergegas pulang.  Hari ini Ustad Ahmad tidak hadir karena ada pernikahan saudaranya. 

"Cepat sedikit.., " kataku demi mendengar suara gemuruh yang demikian keras.  Kami mempercepat langkah.  Tiba-tiba saja sesampai di belokan tepat di depan rumah itu,  hujan turun dengan derasnya.  Tanpa dikomando kami mencari tempat berteduh. Dan celakanya satu-satunya tempat berteduh adalah halaman rumah itu.

Hujan turun semakin deras.  Tubuh kami mulai menggigil,  entah karena dingin,  atau karena rasa takut.  Marwan kulihat paling keras gigilannya.  " Kamu demam,  Wan? " goda Rino.  Aku mendelik pada Rino. Aku merasa gurauannya sangat keterlaluan malam ini.

  Tiba-tiba... "Dhuarrr.! " suara petir langsung mengagetkan kami. Diiringi dengan matinya semua lampu jalan.  Kini Marwan benar benar menangis.

"Ssst...  diam, Wan, " bisik Dodit. Suasana gelap gulita.  Sepi,  yang tinggal adalah derasnya suara hujan dan isak tangis Marwan.

Tiba-tiba dari arah belakang kami terdengar suara pintu dibuka.  Deritnya benar-benar menimbulkan rasa jerih di hati kami.  Samar-samar tampak temaram cahaya lilin yang bergerak-gerak tertiup angin. 

"Lhoo..,  kenapa di sini anak anak? "  Seorang nenek sudah berdiri tepat di depan pintu sambil membawa lilin yang diletakkan dalam sebuah cawan. 

"Ampuun,   ampun Nek..  Biarkan kami pergi! " jerit Marwan ketakutan.

Kami diam terpaku,  bayangan nenek yang bergoyang-goyang karena sinar lilin yang tertiup angin tampak sangat menyeramkan.  " Kalian kehujanan rupanya... Ayo masuk, " ajak nenek itu. 

"Tte...rrima kasih Nek,  kami di sini saja., " tolakku. Lebih baik di luar kedinginan daripada dijadikan ramuan ,pikirku.

"Ayolah masuk...   nanti masuk angin, " ajak nenek itu setengah memaksa.  Sekali lagi petir terdengar. 

"Aaaa...! " teriak kami bersamaan.

"Ayo anak anak,  masuk! " ajak nenek itu tegas.  Mau tak mau kamipun masuk.  Kurasakan Marwan mencengkeram erat tanganku.  Kami duduk di sebuah bangku panjang.  Suasana temaram, sehingga kami tidak bisa melihat ruangan dengan jelas. Namun aku masih sempat melihat kaki nenek itu.  Aman,  pikirku,  kakinya menjejak lantai,  berarti bukan golongan mahluk mahluk tak kasat mata seperti yang diceritakan Jojon. 

"Dari mana saja kalian?  Orang tua kalian pasti bingung mencari, " kata nenek memulai percakapan. sambil membawa satu poci minuman.  Bau jahe langsung merebak begitu poci dan empat cangkir diletakkan di atas meja.

"Ayo,  diminum,  biar hangat , "kata nenek  ramah.

Bergantian kami mengambil sirup jahe ke cangkir kami.  Aku melirik Marwan sekilas.  Dalam remang cahaya aku bisa melihat dia sudah mulai tenang. 

"Kami pulang mengaji,  Nek, " jawab Dodit

"Benar,  sampai di depan rumah ini tiba-tiba deras hujannya, " timpalku

"Ooh mengaji di langgar ya, " kata nenek

"Benar, " jawab kami serempak. Pembicaraan terus berlanjut.  Ternyata nenek tinggal sendirian di rumah itu.  Sesekali  putera nya yang tinggal di luar kota datang menengok dan sekembalinya  nenek selalu membuatkan jenang . Jenang adalah sejenis penganan dari tepung ketan,  gula dan santan yang dimasak dalam waktu yang lama dengan menggunakan wajan yang cukup besar.

"Ooh, apakah empat  hari yang lalu  nenek memasak jenang ?" tanya Rino penasaran.

"Dari mana kamu tahu le? " nenek Salma bertanya heran.

"Malam itu kakakku lewat depan rumah,  dan tampak asap mengepul dari cerobong rumah ini. 

Nenek tertawa. " Benar sekali.., "

Kulihat Marwan menghela nafas lega.  Ternyata nenek memang membuat ramuan.  Bukan ramuan seperti perkiraannya,  tapi ramuan jenang,  sejenis penganan yang amat lezat.

Nenek tertawa geli ketika kami menceritakan tentang macam-macam prasangka kami pada rumah nenek.  Baik tentang mahluk halus ataupun nenek sihir.

"Jangan mudah percaya berita bohong, " kata nenek kemudian.

Tak terasa hujan semakin mereda.  Kami segera berpamitan. "Sering-sering mampir ya... " kata nenek sambil memberi kami masing-masing sebuah bungkusan untuk dibawa pulang.  Bisa ditebak apa isinya?  Tentu saja jenang buatan nenek yang legit dan manis.

Cerita ini sudah pernah dimuat di buku Antologi Cerpen anak "Uranus" . Pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini adalah dari dulu  penyebaran berita bohong selalu ada dan jangan mudah percaya pada berita semacam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun