Rizal De Loesie
Engkau tlah saksikan di tebing hatiku nan miring
Tak lagi sunyi bersetubuh hening, karena hatiku tlah menjadi coretan yang membuatmu berpaling. Ada gurat-gurat saat senja dan malam yang penuh jelaga dosa, berpendar noda cahaya di sela-sela rangkai garis abstraksi yang kau maknai. Seperti itulah diriku. Jemari waktu yang melaknati dalam kurung jeruji iman bertabur sapuan duri.
*
Lalu, jangan pernah lagi engkau peduli. Simpan tanya emosimu dalam darah-darah awan yang akhirnya menjadi hujan tempat kusandarkan segala airmata. Pada hujan akan kupasang sumbu sulur-sulur yang tak akan pernah padam, tentang mengenangmu yang pernah menghamili jiwaku dalam kekerdilan dan keterluntaan.
*
Saat ini,
Setampuk maaf yang kuhamparkan selingkup senja ke malam kepadamu yang telah sekian jejak kita tapaki dalam kebersamaan nan bimbang, bukan tentang ketiadaan, tentang rasa dan tentang cinta. Entah, atas semua khilaf yang tak harus lagi di bagi dan di bait-bait. Aku hanya lantunkan syair-syair hilir. Karena aku takut di hulu kata, yang akan menjatuhkan dera-dera sampai ke muara. Dan kita tak lagi saling bersapa.
Bandung, 2019 Bulan Mei