Rizal De Loesie
Terimakasih angin, engkau pujangga pada lembah-lembah kata yang ranum meniup duka, di balik bukit diksi ceruk kepahitan engkau lumat sendiri. Membiar jarak-jarak merangkak. Kala kemiskinan dan ketiadaan menjadi benih membiak: lalu, rajut-rajut kemesraan itu menjadi dupa para pertapa. Dalam diamnya menggenggam bertimbun bara api kesedihan.
 **
Setelah empat purnama, tembang lirih menggurat pahatan kata didinding sukma, engkau bukan sipa-siapa. Angin, tetaplah angin piuhnya rendah dan rebahlah segala tabah.
**
Namun kepada angin dosa-dosa ditumpangkan, yang merebahkan pucuk-pucuk yang tiada pernah mekar, meniupkan rajam-rajam pada jalanan buntu. Meniupkan gelora api membakar yang tidak hakiki, mencabut kelopak-kelopak janji.
**
Lalu angin tersudut pada tebing-tebing yang menjulangkan keangkuhan, menyekapnya. Menangkapnya, angina menjadi palung-palung kebisuan panjang, gulitanya menjadi bait-bait puisi yang ia sampaikan kepada langit,
**
Pada langit, masih bertabur manik airmatanya. dari kejauhan menjuntaikan do'a -- do'a tiada pernah putus. Karena kuasa tuhan tiada berbatas...