Mohon tunggu...
Yudiaz Tulesta
Yudiaz Tulesta Mohon Tunggu... Administrasi - Pribadi

Melek akan hal yang sedikit terlihat, tapi pantas untuk diperlihatkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjadi Ayah untuk Anak Adikku

7 Desember 2018   20:34 Diperbarui: 8 Desember 2018   09:16 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"A, maaf!"

"Maaf kenapa?"

"Aku titip si Ade, sebentar."

"Baik. Tapi, si Ade masih suka minum susu, gak?"

"Kasih saja air putih biasa, tapi dimasukin ke dalam dot."

Adikku pun pergi menuju rumah mertuanya. Bukan tanpa alasan mengapa ia tidak membawa anaknya menengok neneknya yang sedang sakit itu, karena ia tidak ingin ketika keluarga suaminya melihat Ridwan yang merupakan anak adikku kembali mengungkit keburukan masa lalu adikku bersama suaminya. Bahkan, adikku sering diperlakukan sebagai orang yang paling berdosa di dunia ini. Bagi mereka, adikku merupakan aib dan pembawa sial terbesarnya.

Namun, adikku rela menerima perlakuan buruk dari keluarga suaminya hanya karena ia tidak menginginkan bila anaknya menjadi korban perceraiannya. Sebenarnya aku pribadi sangat tidak setuju bila ia harus menanggung cacian dan hinaan dari mereka. Terlebih lagi, suaminya tak bisa berbuat apa-apa selain diam.

Setelah adikku pergi, aku pun menengok keponakanku yang masih tertidur pulas di dalam kamarku.

"Duh, imut banget," kataku sembari mencium pipinya. "Ridwan, kapan aku nikah dan punya anak selucu kamu, ya?" Tanyaku melanjutkan.

Tiba-tiba saja Ridwan tersenyum dalam tidurnya yang masih terjaga.

"Hemmm..." Ridwan sedikit bergumam.

Tak berselang lama, Ridwan pun terbangun. Ia tidak menangis. Ia hanya menatapku dengan heran. Sebenarnya aku tidak mengetahui berapa usianya, kalau pun aku berandai-andai, mungkin Ridwan baru berumur sekitar dua tahunan.

"Mamah..." Ridwan mulai bernyanyi. Seperti itu aku menanggapi tangisannya.

"Ridwan!" Seruanku kepadanya. "Ada uwa di sini."

Aku memangku Ridwan dan membawanya ke ruang tamu. Aku berpikir, mungkin Ridwan akan suka ketika aku membawanya melihat ikan kecil yang ada di dalam aquarium berukuran kecil itu.

"Lihat, tuh ada ikan yang lucu!" Aku mencoba mengalihkan pemikirannya.

"Mamah!" Ridwan malah menangis kencang.

"Cup..." Aku mengelus-elus rambut sebiji kukunya sembari membawa ia ke dapur untuk mengisi dot dengan air putih sesuai instruksi dari adikku. "Nih, minum dulu!" Seruku melanjutkan.

Akhirnya tangisan Ridwan mulai mereda.

Saat itu hari masih terlalu pagi untuk mengajak Ridwan bermain. Akan tetapi, Ridwan terus menerus memangil nama ibunya. Meskipun sesekali ia terdiam, tetapi ia lebih sering menangis ketimbang melupakan nama ibunya.

"Ya sudah, kita main aja!"

Waktu menunjukkan jam sembilan pagi. Meskipun aku belum mandi, tapi begitulah aku, belum mandi pun aku bisa mengelabui semua orang, seolah aku sudah mandi.

Setelah semuanya terasa sudah siap, aku membawa Ridwan menuju mobilku. Meski aku tahu bahwa Ridwan sudah bisa berjalan, tetapi aku masih belum bisa menentukan berapa usianya. Ya, aku memang suka lupa terhadap beberapa kejadian yang tidak aku hapalkan secara fokus, yang pada akhirnya aku lupa tanggal berapa Ridwan terlahir.

Aku injak pedal gas yang bersamaan dengan angkatan pedal koplingku yang sebelumnya telah aku masukkan ke gigi satu. Sementara itu, Ridwan terduduk di atas tubuh bagian depanku. Tepatnya di antara paha depan dan perutku.

Mobilku pun melaju dengan kecepatan standar, sekitar tiga puluh kilometer perjam.

Baru memasuki lima belas menit awal perjalanan, sepertinya Ridwan mulai terhipnotis aroma perjalanan. Tak berselang lama, ia pun tertidur. Oh, tidak. Ridwan cukup aman dalam posisi tidurnya. Karena aku memakai kain yang aku tidak tahu apa namanya, yang pasti kain itu mengikatnya dengan nyaman agar ia tidak terjatuh.

Satu jam berlalu. Akhirnya aku sampai ke tempat tujuan. Ya. Aku pergi ke tempat bermain yang sepertinya tempat ini dikhususkan untuk anak-anak bahkan keluarga.

Aku pun mengarahkan mobilku ke tempat parkir.

"Ridwan, kita sudah sampai!" Aku sengaja membangunkan tidurnya.

Ridwan membuka mata. Ia melihat situasi yang ada di sekelilingnya dari dalam mobil.

"Ayo!" Seruku. Kemudian aku membawanya keluar dari dalam mobil.

Belum sempat aku menginjakkan langkah kakiku yang kedua kalinya, Ridwan langsung terfokus kepada pedagang yang ada di depannya, tepatnya pedagang yang ada di area parkir.

"Es krim!"

"Duh, jangan es krim, yang lain aja!"

"Heu......."

"Iya deh, iya!"

Aku tak tahu, apakah Ridwan boleh makan es krim atau tidak? Yang pasti, aku tak bisa menolaknya.

Setelah es krimnya di dapat, Ridwan malah membuangnya. Kali ini, ia kembali memanggil ibunya.

"Mamah!!!"

Aku terus berusaha menenangkan Ridwan agar ia tidak menangis. Mengajak ia bermain bola air, menaiki motor beroda empat, dan permainan lainnya. Semuanya telah aku coba. Tetapi, berulang kali permainan itu selesai, berulang kali juga ia menangis dan memanggil nama ibunya.

Setelah berjam-jam aku berada di tempat bermain anak tersebut, tak terasa  waktu telah menapaki sore hari. Aku pun membawa Ridwan untuk kembali pulang ke rumah. Akan tetapi, datanglah kabar yang membuat aku terkejut. Adikku memberitahukan aku melalui telpon bahwa ia akan pulang lusa. Entah seperti apa jadinya, belum menginjakkan satu malam saja Ridwan sering menangis memanggil ibunya. Apalagi kalau adikku pulangnya lusa?

"Huh..." Aku membuang napas.

Aku harus benar-benar tahu apa saja makanan yang harus Ridwan makan, termasuk bagaimana cara memandikannya. Setidaknya aku lakukan sampai adik perempuanku kembali pulang.

Satu malam terlewati. Sedikit demi sedikit Ridwan pun mulai nyaman bersamaku. Meskipun ia masih suka memanggil nama ibunya, tetapi tidak terlalu sering lagi.

Namun, pemikiranku salah. 

"Mamah..." Tiba-tiba Ridwan menangis kembali.

"Sini!" Ujarku kepada Ridwan yang sedang menangis di atas lantai yang beralaskan karpet hijau.

Ridwan pun perlahan merayap mendekatiku.

Saat itu aku mengambil ikan kecil yang aku pindahkan ke dalam mangkuk yang biasa aku pakai untuk makan mie ataupun bakso.

"Diobok-obok airnya diobok-obok... Ada ikannya kecil-kecil pada mabok..." Aku menyanyikan lagu Joshua yang membuat Ridwan bisa tertawa.

"Berhasil!" Entahlah, aku begitu senang setiap kali aku dapat meredakan tangisan Ridwan.

Tiga hari dua malam telah aku lalui bersama Ridwan. Tetapi, sampai menjelang sore tak nampak juga kabar kepulangan adikku bersama suaminya.

"Duh, adikku kemana lagi sih?" Tanyaku dalam hati.

"Kring... kring... kring..." Suara ponselku berbunyi.

"Hallo!"

"Mas, Anda kenal dengan pemilik ponsel ini?"

Mendengar suara pertanyaan dari seorang pria tak dikenal tersebut membuat aku terdiam dan bertanya-tanya dalam hati. Siapa dia? Kenapa dia pegang ponsel adikku?

"Mas...?" Tanya pria itu kembali.

"Oh, maaf!" Jawabku. "Ini dengan siapa, ya?" Tanyaku melanjutkan.

"Pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan, Mas!"

"Innalillahi..." Aku terkejut. "Sekarang ada di mana?"

"Di jalan Jembatan Gantung, Mas!" Jawab pria tak dikenal tersebut. "Kalau bisa, Mas cepat ke sini!"

Tak berpikir lama, aku langsung menuju tempat di mana adikku mengalami kecelakaan. Ridwan pun aku bawa ke tempat itu.

Sesampainya di sana, telingaku begitu bising mendengar tangis histeris dari para warga yang ada di tempat itu. Hatiku pun semakin berdebaran ketika melihat bis yang terguling dengan sisa-sisa asap yang masih terlihat dan mengganggu pernapasanku.

Aku melihat satu persatu korban yang masih selamat. Dalam pikirku, akan lebih mudah mencari orang yang masih bisa bernapas daripada mencari orang yang sudah tak bernyawa. Entahlah, pemikiranku memang sedang labil dan hanya mampu berpikir demikian. Tetapi, setelah aku mencari semua korban, baik yang masih selamat maupun tidak, tak nampak juga aku temukan adikku bersama suaminya.

"Pak, tolong carikan adik saya! Tak mungkin ponselnya ada di sini, kalau dia juga tak ada di sini!"

"Iya, Mas. Kami akan berusaha semaksimal mungkin."  Jawab salah seorang bapak-bapak yang tidak aku ketahui posisinya sebagai apa berada di sini.

"Mamah!" Tiba-tiba saja tangan Ridwan menunjuk ke arah bis.

"Ada apa, Ridwan?" Sontak saja aku terheran.

Namun, aku mencoba untuk mengikuti kemauan Ridwan. Siapa tahu, ada petunjuk yang dapat aku ketahui mengenai keberadaan adikku.

"Mamah!" Lagi-lagi Ridwan menggil nama ibunya.

Namun, kali ini aku bingung. Ridwan membawaku ke arah yang benar-benar tak ada apa-apa. Pertama, ia membawaku ke arah bis, dan di situ tak terlihat keberadaan ibunya. Kedua, ia membawaku ke samping jalan yang sama tak ada apa-apanya, kecuali rumput liar biasa.

"Mamah!"

"Mamah!"

Tubuh Ridwan tak dapat terkendali. Bahkan ia bisa melepaskan pelukanku terhadapnya yang begitu erat.

Ridwan pun merayap menuju rumput yang berada di samping jalan tersebut. Ia semakin mendekat.

Tiba-tiba saja....

Hening.

Aku bersama orang-orang yang berada di tempat itu tersentak seketika. 

Ridwan telah menemukan keberadaan ibu dan ayahnya yang  masuk ke dalam lubang yang berukuran sekitar satu meter dan tertutupi oleh rumput. Jujur saja, aku merasa tak percaya. Betapa tak terlihat ada tanda-tanda tanah berlubang di atas rumput. Mungkin karena hal itu juga yang membuat para relawan sulit mencari adikku dan suaminya. 

Ya, ini kuasa Tuhan. Aku dapat memetik hikmah dari semua ini. Selain itu, aku sangat bersyukur karena adikku atau  kedua orang tua Ridwan masih bisa terselamatkan. Setidaknya, Ridwan bisa melihat kedua orang tuanya di dua hari terakhir mereka.

Kalian jangan bertanya, bagaimana rasanya menjadi aku? Aku yang tadinya bertanya kepada Ridwan ketika ia terlelap, kapan aku bisa menikah? Kapan aku bisa memiliki anak selucu kamu? Nyatanya, Tuhan punya sebuah kejutan yang masih harus aku cari tahu maknanya. Kini, Ridwan hanya hidup bersamaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun