Tahap selanjutnya diiringi dengan membentuk berbagai pilihan opsi yang potensial dalam menjawab problematika -dimensi why and how.Â
Tidak berhenti disitu, karena situasinya dinamis, maka lingkaran dialektika keputusan akan terus-menerus dipertajam.
Pada kajian Heryanto Lingga (Detik, 9/8) dalam Paradox Mindset Penanganan Pandemi, sebuah keputusan yang terlihat bagaikan model tarik-ulur, dapat dipahami dengan memandang bahwa upaya merumuskan resolusi bisa terjadi melalui cara berpikir yang paradoksal.Â
Sebuah sintesis dapat dibuat dari berbagai kemungkinan yang nampak muskil dan bertentangan.
Bahwa yang putus itu sesungguhnya tidaklah benar-benar putus. Sebuah keputusan harus disusul dengan berbagai keputusan lain dalam upaya mereduksi dampaknya. Solusi tidak bisa bersifat tunggal dan mutlak, melainkan majemuk dan acak.
Komunikasi Persuasi
Akar pokok dari nilai pengaruh sebuah keputusan bisa ditelusur pada basis fundamentalnya, yakni kepercayaan. Persis seperti yang disebut Aristoteles -filsuf Yunani Aristoteles sebagai latar kombinasi retorika.
Dalam ranah komunikasi, hal itu terkonfirmasi, bahwa sebuah makna pesan dapat diterima menjadi persetujuan, manakala sumber pesan memenuhi aspek ethos -memiliki kredibilitas yang dapat dipercaya.
Selain itu, ada kriteria pathos -mampu membangkitkan emosionalitas perasaan. Dalam hal ini, tutur serta gerik laku pengirim pesan harus mampu menunjukan keberpihakan.Â
Lagi-lagi para aktor komunikasi harus membangun kedekatan dan tidak berjarak dari publik. Bukan yang jauh panggang dari api, seperti memanfaatkan pandemi demi branding politik yang narsistik melalui berbagai baliho.
Dibagian akhir, karakter penyampai pesan harus memenuhi parameter logos, yakni memiliki kemampuan untuk mampu menjelaskan dengan dasar rasionalitas terukur, masuk akal bukan simsalabim, abrakadabra.