Seprai alias Milaya adalah perlambang kedamaian. Tiada tempat ternyaman didunia, selain diranjang pribadi. Berita yang dilansir National Geographic edisi Mei, seolah memberikan ilustrasi tersebut.
Hasil observasi atas para pengungsi dari Sudan diwilayah Uganda akibat perang saudara, bahwa harta mereka adalah apa yang sempat mereka ambil tanpa persiapan dari rumah-rumah mereka.
Satu kesamaan, mayoritas membawa serta seprai sebagai bagian harta dalam pengungsian. Meski para eksodus ini, paham bila ditanah seberang mereka tidak memiliki kemewahan berupa ranjang pribadi yang mereka tinggalkan di negeri kampung halaman.
Cerita tentang seprai ini, membentangkan kisah terkait pedihnya konflik, untuk semua penduduk negeri dimanapun hal itu terjadi.
Duka dan nestapa menjadi komunitas pengungsi harus ditelan mentah-mentah, karena kedamaian hilang dibumi yang tengah berkecambuk angkara konflik tersebut.
Suasana ketenangan, dirusak oleh dendam tidak berkesudahan. Konflik dimanapun berlangsung membutuhkan ruang negosiasi, bagi munculnya kondisi damai.
Tidak mudah memang, perlu jiwa yang besar dibanding terus berprasangka dalam logika kita versus mereka.
Akar konflik yang paling mengemuka, sesungguhnya adalah pembiaran atas ego yang berkuasa. Dengan begitu kita tidak mampu melihat kebenaran, dari sudut pandang yang berbeda.
Pada logika kita versus mereka, garis pembatas perbedaan, berubah menjadi tembok penghalang. Hanya dapat ditundukkan melalui upaya keras melihat kebenaran dari arah yang berbeda, perlu kemampuan mental untuk itu.
Manusia memahami bahwa melalui kolaborasi dan bekerjasama, mereka mampu mencapai level yang tidak terbayangkan sebelumnya. Tetapi insting tentang persoalan kelangkaan sumberdaya untuk dibagi bersama, menyebabkan sifat tamak menjadi berkuasa.
Dalam kondisi tersebut, jangankan sesama dalam kelompok terpisah, bahkan anggota kelompok sendiri bisa menjadi mangsa. Sifat predator muncul dalam kebengisan yang juga tidak terbayangkan sebelumnya, perang dunia adalah bagian kecil diantaranya.