Beberapa luka sembuh perlahan. Tapi yang dibiarkan tumbuh di luar nalar---justru terus membusuk diam-diam.
Kia, sang sahabat yang menusuk dengan mulus, kini tak hanya hilang dari radar. Ia membangun versi cerita sendiri. Di arisan. Di chat grup alumni. Di telinga-telinga yang senang mendengar gosip daripada kebenaran.
"Hartini itu banyak utang, makanya Andri gak tahan."
"Jangan percaya, dia itu pinter main peran aja."
Kia menyebarkan fitnah dengan gaya klasik: satu kalimat manis, dua sisipan racun.
Bukan hanya karena ia pernah mencuri Andri,
Tapi karena ia tak pernah benar-benar memilikinya secara utuh.
Yang ia dapatkan hanyalah tubuh lelah Andri di malam-malam sunyi,
Sebagai pelarian.
Sebagai pelampiasan.
Sebatas kesepian yang bersalin rupa jadi pengkhianatan.
Kia dendam. Karena Hartini---yang konon ditinggalkan---justru tetap berdiri. Bahkan lebih utuh dari sebelumnya.
Kia bukan hanya pengkhianat, tapi juga penulis ulang narasi palsu. Karena perempuan yang menyesal telah menjadi selingkuhan---sering kali jadi perusak reputasi, agar luka mereka tampak lebih suci.
Hartini tak pernah berusaha membantah semua cerita yang beredar. Tak mencoba meluruskan gosip yang berputar dari grup WA hingga arisan RT.
"Kalian mau percaya dengan semua ceritaku, silakan. Tidak percaya pun tidak apa-apa. Karena kalian kan dengarnya dari aku, dan itu versiku."
"Kalau kalian dengar dari pihak sana, tentu aku tampak berbeda. Tapi aku tidak menulis ini untuk membela. Aku hanya bercerita.
Dan cerita ini... adalah milikku."