Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Give a mom a break and she will conquer the world!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Penderitaan Bukan Takdir, tapi Pilihan?

10 Desember 2023   01:55 Diperbarui: 10 Desember 2023   02:40 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar : florinroebig.com

Suffering is wanting what you don't have and having what you don't want.

Begitulah menurut Elisabeth Elliot.

Seorang wanita yang tidak hanya sanggup memaafkan orang-orang yang membunuh suaminya, tapi suatu saat kelak bahkan menjadikan mereka rekan kerjanya.

Seorang istri yang berjuang demi sebuah visi, tidak tergerus oleh penderitaan yang dialaminya, tidak menyerah pada luka dan trauma. Terus bekerja dan berkarya.

Seorang ibu yang keluasan hatinya membuat putrinya tidak membenci pembunuh ayahnya, tapi justru menaruh belas kasihan dan mengasihinya.


Ia melihat sebuah garis, ketika penderitaan menekannya untuk hanya melihat sebuah titik.

Dan hasil kerja kerasnya telah memberkati banyak orang, memberi cahaya pada kegelapan, meskipun dalam prosesnya harus melalui jalan yang sunyi, gelap, berbahaya.

Perjalanan hidupnya pun menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama wanita. Lebih utama lagi, bagi para ibu.

Penulis yang menorehkan kata-kata bukan hanya dengan pena, tapi dengan seluruh hidup dan hatinya.

Penderitaaan adalah  mengingini apa yang tidak (bisa) kita miliki, dan memiliki apa yang tidak kita ingini.

Kalimat itu terdengar biasa saja seperti kalimat-kalimat bijak pada umumnya, menjadi bermakna ketika kita tahu benar kisah dibalik layar penulisnya.

Minggu pagi itu, ketika diatas mimbar, Bapak Pendeta menceritakan penggalan kisah hidup Elisabeth Elliot, saya tak bisa menahan air mata saya.

Setiap kita pasti pernah merasakan penderitaan, meskipun skala dan durasinya berbeda-beda. Tidak ada manusia di dunia ini selama hidupnya terlepas sama sekali dengan yang namanya penderitaan atau yang sama sekali tak pernah merasa menderita.

Apalagi jaman sekarang. Jaman yang dipenuhi orang-orang muda yang manja dan lemah. Bukan kata saya lho, tapi kata generasi diatas saya. 

Dikit-dikit kena mental, dikit-dikit perlu healing. Seperti strawberry, ditekan sedikit langsung benyek. Atau seperti durian, dalamnya lembek tapi tampak luarnya keras dan menyakitkan. Toxic tapi manja. Lemah tapi Garang.

Generasi yang terserang depresi hanya karena gak bisa cek out semua belanjaan yang gak penting-penting amat di keranjang toko online. Yang frustasi hanya karena motor baru tetangga lebih kinclong. Yang kena mental karena pacar teman lebih tajir dan good looking.

Dan sederet hal-hal lain yang membuat generasi sebelumnya geleng-geleng kepala. Susah paham.

Begitulah menurut para pakar psikologi dan sosiologi.

Tentu saja memang ada penderitaan yang benar-benar nyata, bukan bias. Apalagi pasca pandemi seperti saat ini, ketika dunia mengalami kontraksi di berbagai sisi. 

Perubahan iklim, inflasi dan resesi, perang, pergeseran budaya dan norma sosial, perkembangan pesat teknologi dan seterusnya. Kontraksi inilah yang memicu krisis disemua aspek kehidupan, dari krisis pangan sampai krisis kepercayaan.

Beban hidup semakin kompleks, depresi melanda semua lini, dan penderitaanpun mengintip di sana sini.

Kita pun tidak berdaya.

Tapi belajar dari cerita keluarga Elliot, penderitaan bukan akhir segalanya. Bahkan bukan akhir hidup kita.

Pasangan muda yang sama-sama cerdas dan saling mengasihi, dengan putri kecil yang cantik dan lucu berusia 2 tahun, mereka adalah keluarga yang bermasa depan cerah.

Mereka mengasihi sekelompok orang, dan demi sekelompok orang yang mereka kasihi itu, keluarga ini rela meninggalkan semua kenyaman dan jaminan keselamatan maupun kemapanan. Lalu, orang-orang itu membunuh sang suami.  

Elisabeth Elliot bisa mengutuki hidupnya, bahkan Tuhannya. Ia bisa hancur atau setidaknya depresi melihat masa depannya hancur.

Kenapa ia bisa begitu kuat ? Itulah pertanyaan saya, ketika saya berada pada situasi yang tidak berdaya.

Jawabannya karena ia melihat sebuah garis, bukan titik. Ia melihat penderitaan yang dialami sebagai bagian dari sebuah proses perjalanan, bukan sebuah akhir.

Penderitaan bisa jadi memang sebuah takdir, kalau kita bicara tentang fakta yang terjadi. Tapi saat kita bicara tentang respon, ternyata penderitaan adalah sebuah pilihan.

Penderitaan bisa menolong kita belajar melepaskan hal-hal yang memang tidak seharusnya kita inginkan, dan menerima hal-hal yang tidak kita inginkan tapi Tuhan ijinkan untuk kita miliki atau hadapi.

Kekuatan Elisabeth terletak pada sikap hatinya yang selalu berprasangka baik pada Tuhan yang ia percaya berdaulat penuh atas setiap hal dalam hidupnya.

Salah satu hal yang diyakininya sedari masih kecil adalah ditempat tergelap sekalipun, dimana dosa merajalela, Tuhan sanggup membuatnya menjadi indah.  

Semoga tulisan ini menjadi kekuatan bagi setiap kita, saya dan semua yang sedang membaca, yang mungkin sedang mengalami ketidakberdayaan atau sedang berada ditempat-tempat tergelap dimana dosa merajalela.

Semoga kita selalu ingat, kalau kita tidak pernah berjalan sendiri. Tuhan menggandeng kita, bahkan di rute tertentu menggendong kita. Kita adalah bola mataNya. 

Ditulis di pergantian hari, ditemani suara-suara malam yang berganti-ganti. Terimakasih untuk tokek-tokek yang setia menemani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun