Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Benarkah Penderitaan Bukan Takdir, tapi Pilihan?

10 Desember 2023   01:55 Diperbarui: 10 Desember 2023   02:40 194 2
Suffering is wanting what you don't have and having what you don't want.

Begitulah menurut Elisabeth Elliot.

Seorang wanita yang tidak hanya sanggup memaafkan orang-orang yang membunuh suaminya, tapi suatu saat kelak bahkan menjadikan mereka rekan kerjanya.

Seorang istri yang berjuang demi sebuah visi, tidak tergerus oleh penderitaan yang dialaminya, tidak menyerah pada luka dan trauma. Terus bekerja dan berkarya.

Seorang ibu yang keluasan hatinya membuat putrinya tidak membenci pembunuh ayahnya, tapi justru menaruh belas kasihan dan mengasihinya.

Ia melihat sebuah garis, ketika penderitaan menekannya untuk hanya melihat sebuah titik.

Dan hasil kerja kerasnya telah memberkati banyak orang, memberi cahaya pada kegelapan, meskipun dalam prosesnya harus melalui jalan yang sunyi, gelap, berbahaya.

Perjalanan hidupnya pun menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama wanita. Lebih utama lagi, bagi para ibu.

Penulis yang menorehkan kata-kata bukan hanya dengan pena, tapi dengan seluruh hidup dan hatinya.

Penderitaaan adalah  mengingini apa yang tidak (bisa) kita miliki, dan memiliki apa yang tidak kita ingini.

Kalimat itu terdengar biasa saja seperti kalimat-kalimat bijak pada umumnya, menjadi bermakna ketika kita tahu benar kisah dibalik layar penulisnya.

Minggu pagi itu, ketika diatas mimbar, Bapak Pendeta menceritakan penggalan kisah hidup Elisabeth Elliot, saya tak bisa menahan air mata saya.

Setiap kita pasti pernah merasakan penderitaan, meskipun skala dan durasinya berbeda-beda. Tidak ada manusia di dunia ini selama hidupnya terlepas sama sekali dengan yang namanya penderitaan atau yang sama sekali tak pernah merasa menderita.

Apalagi jaman sekarang. Jaman yang dipenuhi orang-orang muda yang manja dan lemah. Bukan kata saya lho, tapi kata generasi diatas saya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun