Mohon tunggu...
Nyoman Sarjana
Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takdir

26 Mei 2024   20:09 Diperbarui: 26 Mei 2024   20:20 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Takdir

"Semestinya tidak ada lagi yang Luh ragukan. Sama dengan rintik hujan sedari pagi turun membasahi bumi. Sampai malam ini pun, saat kita menyisakan silang pendapat, dia tetap setia mendampingi. Luh rasakan saja hempasan semilir angin, tanpa diminta mendinginkan suasana".

Begitu Pan I Luh mengusir kesedihan mereka berdua. Dalam hening malam, pembicaraan tentang kematian tiada pernah terputus. Kehilangan seseorang yang sangat dicintai, tentu sesuatu yang menyedihkan.

Sambil merenung Pan Putu minum teh jahe hangat  yang dibuat oleh istrinya.

"Tapi, Bli. Mengapa Mbok harus meninggalkan    kita selamanya?"
Mn Iluh melontarkan kesedihannya sambil menyekat air mata. Dalam hatinya ia tidak terima mengapa orang yang sangat dikasihi meninggalkan untuk selamanya.

"Itulah takdir Luh. Kita tak kuasa melawannya. Termasuk siapapun".
Pan Putu berusaha menenangkan istrinya. Satu minggu semenjak ditinggal kakak, dia masih tidak bisa menerima kenyataan. Memang disetiap kesempatan, pertemuan dengan kakak pasti ada saja pembicaraan yang menarik. Terkadang ada sesuatu yang diminta.


Tetapi yang lebih sering adalah bimbingan tentang hidup yang sesungguhnya. Hidup ruwa bhineda, kehidupan di dunia sana nanti, sering menjadi petuah bagi kami berdua. Di saat kegundahan menyelimuti kami berdua, beliau selalu bilang jalani saja. Cobaan bagian dari karma kita. Tidak boleh dihimdari, apalagi dialihkan kepada orang lain.

"Luh, rumah disini, gampang-gampang susah. Mbok minta Luh menyadari dan jangan tidak menerima kenyataan itu". Itu pesan yang sering diucapkan.

"Maksud Mbok apa? Saya tidak paham". Suara Men I Luh agak tegang, sambil memegang lutut kakak iparnya. Ia sangat ingin mendapatkan jawaban yang jelas dari kata-kata yang baru saja diucapkan.

"Mbok tidak perlu menjelaskan. Pada saatnya nanti Luh akan mengerti".

Rahasia itu, sampai saat ini masih bergelayut dipikiran Men Iluh. Malam sudah menunjukan pukul 11.
Rembulan mulai menampakan wajahnya, seiring hilangnya gerimis. Rasa dingin menyusup. Pan Putu bergegas merapikan alat-alat di balai bengong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun