Kalimat itu terdengar biasa saja seperti kalimat-kalimat bijak pada umumnya, menjadi bermakna ketika kita tahu benar kisah dibalik layar penulisnya.
Minggu pagi itu, ketika diatas mimbar, Bapak Pendeta menceritakan penggalan kisah hidup Elisabeth Elliot, saya tak bisa menahan air mata saya.
Setiap kita pasti pernah merasakan penderitaan, meskipun skala dan durasinya berbeda-beda. Tidak ada manusia di dunia ini selama hidupnya terlepas sama sekali dengan yang namanya penderitaan atau yang sama sekali tak pernah merasa menderita.
Apalagi jaman sekarang. Jaman yang dipenuhi orang-orang muda yang manja dan lemah. Bukan kata saya lho, tapi kata generasi diatas saya.Â
Dikit-dikit kena mental, dikit-dikit perlu healing. Seperti strawberry, ditekan sedikit langsung benyek. Atau seperti durian, dalamnya lembek tapi tampak luarnya keras dan menyakitkan. Toxic tapi manja. Lemah tapi Garang.
Generasi yang terserang depresi hanya karena gak bisa cek out semua belanjaan yang gak penting-penting amat di keranjang toko online. Yang frustasi hanya karena motor baru tetangga lebih kinclong. Yang kena mental karena pacar teman lebih tajir dan good looking.
Dan sederet hal-hal lain yang membuat generasi sebelumnya geleng-geleng kepala. Susah paham.
Begitulah menurut para pakar psikologi dan sosiologi.
Tentu saja memang ada penderitaan yang benar-benar nyata, bukan bias. Apalagi pasca pandemi seperti saat ini, ketika dunia mengalami kontraksi di berbagai sisi.Â
Perubahan iklim, inflasi dan resesi, perang, pergeseran budaya dan norma sosial, perkembangan pesat teknologi dan seterusnya. Kontraksi inilah yang memicu krisis disemua aspek kehidupan, dari krisis pangan sampai krisis kepercayaan.
Beban hidup semakin kompleks, depresi melanda semua lini, dan penderitaanpun mengintip di sana sini.