Kombinasi hujan deras yang baru saja mengguyur dan deru angin kencang, menggugurkan dedaunan dan bunga Tabebuya yang berserakan di halaman.
Ah, berasa musim gugur. Memori pun berkelebatan dengan manisnya. Â Kenangan tentang warna warni yang membalut pepohonan dan gemerisik daun yang terinjak boot musim gugur, membuat hati hangat sesaat.Â
Mari kembali ke realita. Â
Begitu hujan mereda, sapu lidi saya pun beraksi. Mengumpulkan sampah bunga dan dedaunan  ke tempat sampah plastik reyot di sudut taman.
Saat itulah saya mendongak keatas, menatapnya.
Gerombolan tabebuya yang masih bertahan di dahan pohon, berayun-ayun dalam buaian sepoi angin sehabis hujan. Kelopaknya yang kuning keemasan ditimpa matahari sore, tampak segar oleh sisa-sisa tetesan air.
Tak tahan dengan kemolekannya, beberapa saat kemudian saya pun mengabadikannya dalam kamera ponsel tua saya. Seperti sudah diduga, hasilnya kurang maksimal.
Tapi terlepas dari masalah ponsel tua, si tabebuya memang tak pernah berhenti menginspirasi. Ini tulisan kedua saya tentangnya.
Cantik Tapi Rapuh
Tabebuya adalah gambaran generasi masa kini. Cantik tapi rapuh, kata para pakar. Bukan kata saya.
Generasi strawberry, Â begitulah mereka dijuluki. Generasi yang lembek dan tidak tahan tekanan. Kalau mengutip pendapat pak Reinald Khasali, generasi yang sedikit-sedikit perlu healing, dan membuat kata healing mengalami pergeseran makna.