Mohon tunggu...
Yeni Sahnaz
Yeni Sahnaz Mohon Tunggu... Penulis - Junior

Seorang lansia yang senang bertualang di belantara kata-kata dan tidak suka pakai kacamata kuda dalam menyelami makna kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Reuni dan Ironi Kehidupan di Rangkasbitung

18 Maret 2018   23:40 Diperbarui: 21 April 2018   04:55 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Halaman depan tempat kami dulu upacara dan wara-wiri sudah sumpek oleh bangunan yang merangsek ke depan. Tak tampak lagi bangunan kelas bergaya Eropa dengan jendela dan pintu yang menganga lebar dan tinggi serta dihiasi tiang-tiang besi penyangga teritisan yang dulu sering menjadi tempat pegangan saat grogi disapa oleh kakak kelas pujaan.

Selepas menyusuri jalan Multatuli aku terpatung di depan Masjid Agung yang masih tegak berdiri dengan anggun menghadap alun-alun yang kini nampak terawat. Tata kota Pemerintah Kolonial selalu menyediakan alun-alun di pusat kota untuk dijadikan ruang publik sebagai sarana bersantai dan berinteraksi antar warga. Ini contoh yang patut diteladani. Di masjid itu aku pernah kehilangan sepatu saat mengikuti cerdas cermat antar SMP dan pulangnya aku terpaksa 'nyeker.'

Di seberang Masjid Agung dulu terletak Kantor Kawedanaan. Kini jabatan Wedana apakah masih berfungsi dalam pemerintahan, entahlah aku tidak tahu. Aku masih ingat dulu di pojok kiri Kawedanaan ada sebuah ruang sekitar tiga kali tiga meter yang raknya dipenuhi oleh buku-buku. Di situlah aku sering memuaskan dahaga pengetahuan dengan membaca berbagai buku, bagai seorang musafir kehausan yang tengah mereguk air di tepian oase yang teduh. 

Sebelum karya Pramudya Ananta T. diharamkan oleh Orde Baru, aku sudah puas membacanya...ha...ha. Karl May, Rabindranath Tagore, Anton Chekov, Multatuli, Hamka, Mokhamad Tohari, Armijn Pane, Pearl S. Buck, Hemingway, Leo Tolstoy, Maxim Gorky, Voltaire (maaf bila ada ejaan yang salah) dan buku karya pujangga lama dan baru yang tak kalah bagus dari karya penulis asing tersaji bagai hidangan lezat yang siap disantap. 

Saat itu aku masih SD, karena tak bisa mengikuti ritme bermain teman-temanku yang enerjik seperti berenang di sungai, bermain badminton, tennis meja dan berlarian di lapangan, biasanya di pojok ruang aku meringkuk berjongkok sendirian membenamkan diri dalam belantara kata-kata karena di situ tidak tersedia meja baca saking sempitnya ruangan. Di perpustakaan mungil itu aku sering mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia. 

Aku sangat berterimakasih kepada Bapak pengelola perpustakaan (maaf sudah lupa namanya) yang tidak pernah merasa terganggu atas kehadiran seorang bocah perempuan yang dekil dan bau di ruangan kerjanya. Setidaknya di salah satu relung batinku pernah terperciki oleh nilai-nilai moral dari karya sastra yang pernah kubaca.

Mataku mulai lagi jelalatan mencari pohon tanjung yang dulu tumbuh tinggi besar dan rimbun di halaman depan Kabupaten. Selagi kecil aku sering bermain di bawah kerindangan tajuknya sambil memunguti bunga-bunganya yang harum lalu diuntai memakai tangkai mimosa hingga menyerupai sebuah kalung. 

Bila telah puas bermain, aku akan pulang lalu memberikan untaian bunga kepada Ibu sambil menatap lurus ke arahnya untuk menangkap ekspresi wajahnya yang selalu teduh. Ibu akan tersenyum lebar, mengucapkan terimakasih dengan suara lembut serta meraih bahuku sambil mengusapnya dengan penuh kasih. Bunga itu biasanya Ibu sisipkan di sanggulnya atau disimpan di lemari untuk mengharumkan pakaian.

Mengenang Ibu bagiku sama dengan menghirup keharuman sari bunga yang selalu menebarkan aura kedamaian. Ia selalu menebarkan kasih sayang kepada siapa saja meski sesungguhnya dirinya sangat menderita karena terjebak dalam lembaga perkawinan yang tak bahagia. Untunglah imannya yang teguh masih setia mendampingi tubuhnya yang rapuh. 

Di tengah keterbatasan sarana dan fisik yang renta Ibu selalu aktif membaca berbagai literatur dalam berbagai bahasa berbeda serta menulis buku, puisi, esai dan menterjemahkan buku dan artikel. Aku kini baru memahami kalau hobi Beliau tersebut sebagai terapi untuk mengobati rasa sakit lahir batin yang dirasakannya selama ini. Ibu lebih banyak memberi teladan daripada berbicara. Ibu.....dengan sikapmu aku jadi tahu artinya menghargai segala hal dalam wujud apapun.

Di seberang Kabupaten ada sebuah penjara, aku pernah berteduh di bawah pohon Akasia yang berbunga kuning indah di depan penjara saat mengantar teman yang sedang membesuk ayahnya. Sampai kini aku tak pernah yakin akan kesalahan yang dituduhkan kepada ayah teman baikku yang kini entah berada di mana. 'Korupsi,' itulah tuduhannya. Bagaimana mungkin seorang pegawai rendah di Departemen Agama punya kesempatan untuk korupsi? Mungkinkah Ia hanya dijadikan kambing hitam oleh atasannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun