Mohon tunggu...
Yeni Sahnaz
Yeni Sahnaz Mohon Tunggu... Penulis - Junior

Seorang lansia yang senang bertualang di belantara kata-kata dan tidak suka pakai kacamata kuda dalam menyelami makna kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Reuni dan Ironi Kehidupan di Rangkasbitung

18 Maret 2018   23:40 Diperbarui: 21 April 2018   04:55 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

"Reuni  kamu harus datang atuh Neng!" Pesan singkat itu datang dari sahabatku sejak di SMP hingga SMA yang sudah berpuluh tahun tidak bertemu. Beragam tanya sempat berkelebat; Benarkah ini atau sekedar mimpi? Layakkah aku untuk hadir? Masih adakah si A dan sudah jadi apakah si B? Kenangan masa lalu dan kerinduan pada teman lama mendorongku untuk menghadiri reuni SMA di sebuah kota kecil tempat kelahiran yang bernama Rangkasbitung. 

Pada usiaku yang beranjak senja bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah perjalanan hidup, dengan reuni tentunya dapat sejenak keluar dari rutinitas kehidupan. Akupun mohon ijin kepada suami dan kedua buah hati, mereka mendukung dengan sukacita karena ini adalah perjalananku yang pertama kali sendiri ke luar kota. 

Menurut mereka tak selayaknya Ibu seumur hidup mendekam di rumah terus. Suamiku mengantar hingga terminal bus Baranangsiang Bogor karena Ia kelelahan baru saja tiba dari tempat kerjanya di Kalimantan.

Perjalanan selama hampir empat jam yang ditempuh dengan bus umum sungguh membosankan apalagi sambil diiringi suara musik dangdut yang memekakkan telinga. Hentakkan suara kendang selalu menghalau rasa kantuk yang menyergap sementara sopir bus nampak menikmati karena kulihat sesekali kepalanya terendut...endut bergoyang-goyang mengikuti irama. 

Rengekkan suara penyanyi kadang menimbulkan rasa geli saat membawakan syair lagu yang temanya nyaris tidak pernah bergeser dari penghianatan dan patah hati. Untunglah kejenuhan segera terobati saat melihat pemandangan asri dari perkebunan kelapa sawit yang menghampar hijau di kiri kanan jalan mendekati kota tujuan.

NAPAK TILAS

Sekedar membayar rasa kangen aku menyempatkan diri untuk 'napak tilas' menyusuri tempat-tempat yang pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup. Rangkasbitung kini dibingkai oleh jalanan yang mulus dan lebar, selebar bibir orang-orang Rangkas (yang terkenal dengan keramahannya) bila tersenyum. Namun kemana pohon-pohon rindang yang dulu selalu menaungi saat berjalan kaki menuju sekolah?

Ketika melewati jalan Pahlawan aku seolah linglung mencari rumah hunian sehalaman dengan bekas pabrik minyak yang dibangun pada jaman Kolonial Belanda dengan arsitektur khas bergaya Eropa. 

Sebagai seorang pengagum gedung-gedung kuno, aku merasa sangat kehilangan karena sesungguhnya di situlah Landmark nya Rangkasbitung. Bangunan kuno sudah selayaknya dirawat dan dilindungi dari kepunahan karena telah menjadi salah satu World Heritage yang dilindungi oleh UNESCO.

Puas menatap area pabrik minyak yang kini tak lagi ada, aku tertegun di depan SMAN I yang bangkunya pernah kududuki selama satu setengah tahun. Di situlah aku pernah mengenal cinta monyet karena ditaksir kakak kelas yang kini entah berada di mana. Ia sering menitipkan surat lewat teman tapi lucunya aku tak pernah berani bertatap muka dengannya, karena aku akan ngabur bila bertemu dia.

Kakiku melangkah lagi menyusuri jalan Multatuli, melongok SMPN I yang pernah menjadi saksi bisu saat aku beranjak puber. Di situ aku tambah kaget lagi karena fasad bangunan sudah tak jelas bergaya apa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun