Salah satu tantangan jadi ibu adalah tidak membeli barang secara impulse dengan alasan "sayang anak". Lalu tiba-tiba barang-barang anak sudah memenuhi setengah rumah. Apalagi kalau anak cepat besar dan cepat bosan, makin banyak barang yang akhirnya "terbuang" atau hanya jadi penghuni gudang.Â
Bolehlah menerapkan gaya hidup minimalis untuk parenting yang lebih tepat dan hemat. Apalagi katanya, kalau ibunya bahagia, anaknya juga bahagia. Gimana caranya?
Mencari tahu soal gaya hidup minimalis di web search, ternyata sedikit banyak saya sudah melakukannya dalam membesarkan anak semata wayang saya yang kini sudah masuk usia remaja.Â
Jadi, gaya hidup minimalis ini didefinisikan sebagai menyimpan hal-hal yang diperlukan (dan membuat saya bahagia) dan menyingkirkan hal-hal yang membuat saya jadi tidak bahagia.Â
Ingat kan beberapa waktu lalu seorang Marie Kondo membuat heboh dengan konsep bersih-bersih dan menyingkirkan semua yang tidak "spark joy." Well, gaya hidup minimalis kurang lebih begitu.
Bagaimana menjalankan gaya hidup minimalis sebagai seorang ibu?
Peraturan pertama adalah "menyingkirkan semua yang tidak spark joy." Ini termasuk keluarga kepo, netijen julid dan orang-orang yang hanya komentar namun tidak memberikan kontribusi positif dalam hidup saya (yang kebetulan) adalah seorang ibu tunggal ini. Setelah hidup lebih tenang, barulah kita fokus ke menerapkan gaya hidup minimalis di keseharian saya dan anak saya.
Misalnya dengan memikirkan kegunaan jangka panjang barang-barang yang dibeli. Bukan berarti tidak membelikan mainan, buku dan baju untuk anak, tetapi lebih selektif dalam pembeliannya. Let's say baju.Â
Ada onesies lucu di toko. Kalau yang model piyama dengan bagian kakinya tertutup biasanya tidak akan lama karena bayi cepat tumbuhnya. Beli yang tanpa kaki.Â
Begitu anak tumbuh tinggi dan bagian bawahnya sudah tidak bisa dikancing, ubah fungsinya jadi kaos atau atasan. Mainan juga begitu. Belikan mainan sederhana yang bisa dimodifikasi jadi mainan lain ketika anak sudah mulai bosan. Seringnya, yang penting bukan apakah mainan tersebut dalam kondisi baru, tapi apakah si anak baru lihat.Â
Lalu bisa juga merambah ke kegiatan sehari-hari seperti makan. Ketika makan, hal-hal yang tidak berhubungan dengan makanan dan kegiatan makan, sebaiknya disingkirkan.Â