Mohon tunggu...
Yoyo
Yoyo Mohon Tunggu... Buruh - Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Tour leader. Pengamat buku, kutu buku, penggila buku dan segala hal yang berbau buku.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Nelayan Tua di Volendam

7 November 2017   00:48 Diperbarui: 8 November 2017   00:28 3118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Volendam. Koleksi pribadi

Volendam terletak di sebelah utara Belanda. Jaraknya cuma sekitar 30 Km dari Amsterdam. Penduduknya tidak sampai 25 ribu jiwa. Banyak orang menyangka Volendam adalah sebuah kota padahal dia adalah kampung nelayan. Uniknya, kampung nelayan ini lebih dikenal sebagai obyek pariwisata daripada sebagai daerah penghasil ikan. Begitu terkenalnya sehingga orang sering berkata 'Anda belum ke Belanda kalau belum ke Volendam'.

Kampung nelayan ini letaknya di bawah permukaan laut sehingga pemerintah membangun tembok yang kuat untuk membendung datangnya air laut. Ada cukup banyak daerah di Belanda yang letaknya lebih rendah dari permukaan laut. Tapi tidak seperti di Jakarta, di sini tidak pernah ada banjir. Pemerintah membangun dam dan kanal-kanal untuk mencegah banjir. Misalnya kanal-kanal yang ada di kota Amsterdam, selain berfungsi untuk menampung air, juga dimanfaatkan sebagai wisata air untuk melakukan City Tour. Jasa City Tour lewat air ini biasa disebut dengan Amsterdam Canal Cruise. Kalau bicara soal menaklukkan air, negara kita memang harus belajar banyak dari Belanda.

Perumahan para nelayan di Volendam semuanya menghadap ke arah laut lepas, ukuran rumahnya kecil-kecil tapi cantik. Atap dan dindingnya dicat berwarna-warni dengan pilihan warna yang mencolok sehingga kita lebih merasa berada di taman hiburan daripada di sebuah kampung nelayan. Di sini, Dinas Tata Kotanya sangat bagus. Mereka membangun lokasi, bukan membangun rumah. Semua elemen direncanakan dengan baik. Karena itulah rumah-rumah di Volendam terlihat sangat apik dengan arsitektur dan desain yang mirip satu sama lain.

Saya sedang menuju Volendam membawa 30 orang tamu dari Indonesia dengan bus yang saya sewa. Perhentian di Volendam umumnya saya batasi sekitar 3 sampai  4 jam, termasuk makan siang. Sesampainya di tujuan, semua tamu saya lepas di sebuah Mall yang penuh dengan pengunjung. Boleh percaya boleh tidak, sebagian besar pengunjung didominasi oleh orang Indonesia. Dan rombongan kami pun langsung ikut berdesak-desakan untuk membeli produk bermerk yang memang harganya miring dibandingkan dengan tempat-tempat lain.

Sambil menunggu tamu berbelanja, saya dan Torro pergi  ke restoran De Koe. Torro adalah supir bus yang selalu saya sewa setiap kali pergi ke Amsterdam. Dia imigran dari Spanyol yang sudah lama menjadi warganegara Belanda. Kami mampir dan makan di restoran De Koe karena kami berdua bisa makan gratis di sana. Makan gratis tersebut diberikan resto sebagai servis pada tour leader yang telah membawa rombongan ke restoran mereka.

Kalau Anda pergi ke Volendam, sangat mudah untuk menemukan Restoran De Koe karena letaknya sangat strategis. Plang namanya pun besar dengan logo bergambar sapi. Restoran De Koe sudah berdiri sejak tahun 1922. Mereka menyajikan hidangan khas Belanda, kebanyakan menunya berupa variasi sandwich. Salah satu ciri dari restoran De Koe adalah semua staff restoran memakai kostum tradisional khas Volendam.

Sehabis makan, Torro memesan kopi dan saya memesan es krim sebagai penutup.

"You don't have a plan to visit Raoul, Yo?" tanya Pak Supir ini sambil menghirup kopinya.

Aduh! Untung Torro mengingatkan, "You're right! Thanks for reminding me, "kata saya langsung bangkit dari tempat duduk dan berjalan pergi.

"Hey! You don't want me to company you?" tanya Torro bingung karena tidak saya ikutsertakan.

"No! You wait here. How long do I have?"

Torro melihat jam tangannya, "Well, you have about 2 hours."

"I won't be long. Wait me here. I'll be back soon."

"Okay. If you don't find me here, I'll be on the bus. Okay?"

"Okay. Bye Torro!" sahut saya langsung terbang menuju rumah Raoul.

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah berkenalan dengan seorang nelayan tua di Pantai Volendam, namanya Raoul. Dia hidup seorang diri tanpa keluarga. Umurnya 80 tahun, sudah terlalu uzur untuk melaut. Hari-harinya hanya diisi dengan memancing ikan di bebatuan pinggir pantai, ditemani rokok dan botol birnya.

Waktu itu saya sedang menunggu rombongan tour berbelanja. Biasanya saya selalu membaca di Side Walk Cafe di pinggir pantai sambil menikmati pemandangan laut. Tapi kali itu saya agak malas membaca sehingga untuk membunuh waktu, saya berjalan-jalan sendirian menikmati keindahan kampung nelayan Volendam.

Sesampainya di pantai, saya melihat seorang kakek tua sedang asyik memancing sendirian. Rambut, jenggot dan kumisnya semua berwarna putih. Badannya kurus dan memakai topi tua yang sudah bolong-bolong. Secara keseluruhan penampilannya mengingatkan saya pada tokoh Santiago yang ada di buku The Old Man And The Sea karya Ernest Hemmingway.

Melihat keranjangnya tidak berisi ikan seekor pun, saya memberanikan diri bertanya, "Are there any fish around here? I don't see you got one."

Tanpa menoleh, dia menjawab, "I like fishing not because of the fish. I like the peace and quiet of being at sea."

Saya suka sekali pada jawabannya lalu saya bertanya lagi, "Wow, I like that! May I company you?"

"If you buy me a bottle of beer, you can sit next to me and I'll teach you how to fish," katanya lagi.

Mendengar jawabannya, saya langsung membeli 1 paket Bir Belanda merek Amstel yang berisi 6 botol. Saya juga membeli 2 hamburger untuk kami berdua. Tidak lama kemudian kami sudah berada di atas batu, duduk berdampingan sambil menikmati hamburger dan bir. Saya tidak begitu suka bir tapi untuk menyenangkan orang tua ini, saya memutuskan untuk ikut minum menemaninya.

"What kind of fish that are you fishing, Raoul?" tanya saya.

"Look at to the sky. And look at to the sea. Hear the sound of the waves. Feel the wind that touch your skin," jawabnya ngawur.

"You are not answering my question," sahut saya sambil meminum bir langsung dari botolnya.

"Stupid girl!" kata Raoul setengah membentak tapi mulutnya tersenyum.

"Yes, I know. I am stupid," jawab saya enteng.

Nelayan tua itu bangkit dan berdiri di atas batu karang lalu sambil menunjuk ke angkasa, dia berkata lagi dengan suara lantang, "It's a beautiful day, Yoyo. Think! I am fishing life. Not fish. Can't you see that?"

Sekali lagi saya terperangah mendengar jawaban filosofisnya. Rupanya Raoul lebih berbakat menjadi filsuf daripada pemancing ikan. Saya pun terus memancing percakapan dengannya tentang apa saja. Tentang cuaca, tentang laut, tentang langit, tentang angin, tentang hidup termasuk tentu saja tentang kehidupan di kampung nelayan ini.

Untungnya nelayan tua ini senang bercerita. Dia langsung berceloteh tentang apa saja yang diketahuinya. Ada satu cerita Raoul tentang Volendam yang sangat berkesan di hati saya. Untuk lebih memudahkan, saya akan ceritakan dalam bahasa Indonesia.

"Dulu rumah-rumah para nelayan di sini semuanya berbentuk sama, berdesain sama bahkan warnanya pun sama." Kakek tua ini memulai ceritanya

Sambil meraih botol bir yang kedua, saya mendekat ke arahnya. Angin laut bunyinya menderu-deru sehingga suara Raoul tidak begitu jelas terdengar kalau tidak dari dekat.

"Semua nelayan tidak mempunyai masalah dengan keseragaman itu. Semuanya happy karena bisa hidup damai tanpa iri hati di antara mereka."

"Setuju! Apa yang perlu dibuat iri hati kalau semuanya sama," sahut saya memperkuat argumen itu.

"Sampai akhirnya muncul problem yang sama sekali tidak pernah diperhitungkan sebelumnya."

"Apa masalahnya?" tanya saya.

"Setiap weekend, para nelayan mempunyai kebiasaan berkumpul di bar dan bermabuk-mabukan. Setelah lewat tengah malam, mereka pun pulang dengan berjalan kaki. Rumah mereka memang letaknya tidak jauh dari tempat mereka hang out."

Raoul ternyata seorang storyteller yang hebat. Saya langsung larut dalam ceritanya.

"Namun karena semua rumah tampak sama, banyak yang keliru mengenali rumahnya sendiri. Di sinilah persoalan dimulai."

"Oh ya? Hihihi...bisa dimengerti. Mereka habis minum, kan?" sela saya.

"Beberapa kali terjadi seorang nelayan terbangun di pagi hari dan baru menyadari bahwa dia tidak sedang berada di rumahnya."

"Hihihihihihihihi..." Saya terkekeh geli mendengar cerita tingkah nelayan itu. Saya dapat membayangkan peristiwa itu dengan baik karena Raoul bercerita sambil berakting sesuai dengan tokoh yang sedang dia ceritakan.

"Bahkan karena terlalu mabuk, pernah terjadi seorang nelayan nyelonong ke rumah orang lain dan langsung masuk ke kamar tidur."

"Hihihihi..." Saya berusaha keras menahan tawa agar cerita Raoul tidak terputus.

"Di atas ranjang tergolek sesosok tubuh perempuan dan Si Nelayan mengira itu isterinya.."

"Hihihihi..."  Aduh! Semakin lama semakin susah menahan tawa.

"Mungkin karena pengaruh alkohol, orang itu horny sehingga merasa perlu melaksanakan hajat. Dengan bernafsu dia langsung menyergap perempuan yang sedang tidur tadi..."

"Hihihihihihihihi...." Kali ini, tawa saya tidak bisa ditahan lagi. Saya tertawa tanpa henti karena cerita tentang nelayan mabuk ini buat saya lucu bukan main, "Hihihihihihihi...."

"Perempuan itu tentu saja kaget bukan main. Dia menjerit minta tolong karena mengira ada seseorang yang ingin memperkosanya..."

"Stop! Stop Raoul! Give me a break...! Hihihihihihihihi...."Dan pecahlah biang tawa ini tanpa mengenal selesai. Saya terkekeh-kekeh dengan tubuh terguncang-guncang. Air mata saya meluap berebutan ke luar bersama tawa yang tidak juga mau berhenti.

Karena terlalu hot mengumbar tawa, saya jatuh dari batu yang saya duduki dan terjengkang ke belakang. Untungnya Raoul cepat menangkap tubuh saya. Walaupun sudah berusia 80 tahun, kakek ini ternyata masih kuat dan sigap.

"Hihihihihi.....!" Dengan posisi masih berpelukan, saya terus berusaha meredakan badai tawa yang tidak juga mau berhenti.

"I like the way you laugh, Yoyo. You look so pretty...." Tiba-tiba Si Kakek berbisik dengan suara halus di telinga saya.

"No! You don't like the way I laugh. You like the way I fall..." kata saya, "Hihihihihihihi...."

"Hahahahahaha..." Kali ini Si Kakek ikut tertawa mendengar ucapan saya. Kami berdua tertawa terus-terus menerus. Suara tawa kami berbaur dengan desir angin dan deru ombak yang memukul-mukul bibir pantai

Setelah saya bisa menenangkan diri, Raoul melanjutkan ceritanya. "Karena peristiwa salah masuk rumah terjadi berulang-ulang, pemerintah daerah merasa perlu untuk memberi identitas pada setiap rumah."

"Jadi pemilik rumah boleh mengganti warna cat rumahnya?" Saya mencoba menerka.

"Bukan cuma warna cat. Sekarang semua nelayan diizinkan mengganti desainnya. Mereka boleh mengganti pagar, atap atau apapun yang tentu saja obyektifnya untuk memberi tanda agar mereka tidak salah lagi mengenali rumahnya."

"Tapi banyak turis yang merasa bahwa rumah-rumah mereka masih tampak sama?" tanya saya.

"Memang betul. Ciri khas tiap-tiap rumah hanya bisa dikenali oleh pemiliknya. Buat orang lain masih terlihat sama karena benang merah dari desain keseluruhan tetap dipertahankan."

Pertemuan dengan Raoul begitu berkesan di hati. Saya jadi teringat Papa saya. Beliau  juga suka memancing. Biasanya dia pergi dengan beberapa temannya ke Muara Kamal, Jakarta Utara. Di muara yang berhubungan dengan Laut Jawa itu banyak sekali perahu nelayan. Di sana Papa dan rombongan menyewa perahu dari nelayan lalu berangkat memancing malam hari dan pulang keesokan paginya.

Dari jaman masih kecil, saya sering minta ikut memancing dengannya tapi papa tak pernah mau mengajak saya karena saya seorang perempuan. Papa lebih nyaman mengajak A Koh, kakak lelaki saya. Bahkan sampai setua sekarang, keinginan saya yang amat sederhana ini tidak pernah kesampaian. Siapa menyangka, harapan itu bisa saya peroleh dari seorang nelayan tua berusia 80 tahun dan bertempat tinggal 23.000 mil jauhnya dari rumah. Tuhan itu memang luar biasa ya?

Sejak saat itu, setiap kali ke Volendam, saya selalu menyempatkan diri mengunjungi Nelayan Tua ini. Sambil menunggu para turis, kami berdua memancing bersama. Raoul menghadiahkan sebuah joran miliknya. Dengan sabar dia mengajari saya bagaimana cara mengaitkan umpan. Bagaimana cara melemparkan kail agar mencapai jarak yang jauh.

Selama memancing bersamanya, saya tidak pernah berhasil mendapat ikan seekor pun. Raoul pun sama saja. Kalaupun berhasil yang diperolehnya cuma ikan-ikan kecil yang lalu dia lepaskan kembali ke laut. Meskipun demikian, waktu yang saya jalani bersama Raoul  sangat berkualitas dan merupakan episode hidup yang menyenangkan.

Seiring berjalannya waktu, hubungan kami semakin lama semakin rapat. Setiap kali datang, saya selalu membawa oleh-oleh sederhana berupa syal, topi, t-shirt bergambar Barong Bali, rokok Kretek Indonesia, buku dan pernah juga saya membawakannya Surjan Jawa untuk dipakai saat angin laut terlalu kencang dan dingin.

Nelayan tua itu selalu terharu setiap kali menerima oleh-oleh dari saya. Matanya berkaca-kaca kemudian berkata "Thank you, Yoyo. You're like a daughter to me."

"Daughter or granddaughter?" tanya saya becanda.

"You're right." katanya sambil menghampiri dengan tangan terbuka. "Now, come to Grandpa and give me a hug my granddaughter..."

Lalu kami berpelukan lama sekali. Entah kenapa saya selalu menikmati dipeluk olehnya. Rasanya damai sekali berada di pelukan kakek kurus ini.

"I love you, Yoyo. You are the only family I have," bisiknya hampir tak terdengar.

Saya bergetar mendengar ucapannya. Siapa pun di dunia ini pasti senang dicintai. Cinta itu tidak ada hubungannya dengan usia, agama, ras, jenis kelamin, status sosial dan apapun. Cinta itu berkah dari Tuhan! Merasa ada seseorang di dunia ini yang mencintai kita, itu adalah perasaan yang amat luar biasa, kecuali kalau hati kita memang sudah tertutup.

Tanpa menjawab ucapannya saya balas memeluknya sepenuh erat. Jauh di lubuk hati, saya merasa ucapannya terlalu berlebihan. Saya tau dia mengatakan demikian hanya karena terpicu oleh kerinduan yang teramat sangat pada keluarganya. Saya tidak pernah tau apakah ada keluarganya yang masih hidup. Setiap kali saya menanyakan hal itu, dia selalu menolak untuk menjawab.

Saya tidak menemukan Raoul di rumahnya. Pintu rumah sama sekali tidak terkunci namun orang tua itu tidak berada di dalamnya. Ah, mungkin dia sedang memancing, pikir saya. Dengan segera saya berlari ke arah pantai tapi sampai di sana, Raoul juga tidak ada. Saya bingung bukan main.

Entah karena alasan apa, saya menghampiri batu tempat biasa kami duduk memancing kemudian berdiri di situ beberapa saat. Di celah-celah batu, saya menemukan kertas bekas pembungkus rokok. Huruf-huruf cetakannya sudah luntur tak terbaca namun saya merasa yakin bahwa itu bekas kotak rokok Si Nelayan Tua.

Saya larut dalam pikiran tentang Raoul sampai tidak menyadari ada seorang polisi telah berdiri di hadapan saya.

"Are you Yoyo?" tanya Si Polisi.

"Yes, I am Yoyo. Can I help you, officer?" tanya saya.

"I have a letter from Raoul for you," katanya sambil menyerahkan sebuah amplop kecil.

"From Raoul? Where is he, officer?" tanya saya kebingungan seraya menerima amplop tersebut,"Is he going somewhere?"

"He died, Miss."

"What?" Saya kaget bukan main.

"Yes, Miss. He got heart attack 2 weeks a go."

Saya shock dan tidak tau harus mengatakan apa. Polisi itu juga diam. Nampaknya dia hendak memberikan waktu buat saya untuk menenangkan hati.

Tidak lama kemudian Sang Polisi bercerita bahwa beberapa hari sebelum kematiannya, Raoul bertingkah seperti orang linglung. Setiap hari dia duduk di bangku tempat kedatangan bus-bus turis. Setiap kali ada bus datang, Raoul langsung menyambut dan bertanya pada semua turis yang turun, "Is there Yoyo here? Did you see Yoyo?"

Bukan cuma turis bahkan sampai semua semua supir bus diberondong pertanyaan yang sama oleh Raoul. "Do you know. Yoyo? Is she here with you? She is my grand daughter."

Betapa sedih saya mendengar cerita polisi tersebut. Sambil menahan isak tangis, saya berkata dengan suara lirih, "Thank you, Officer."

"I am sorry, Miss. Take care." Selesai menghabiskan kalimatnya, polisi itu pamit dengan cara menyentuh ujung topinya lalu beranjak pergi.

Isakan tangis perlahan mengiringi tangan saya yang sedang merobek amplop. Di kertas itu cuma ada tulisan pendek. Dan perlahan-lahan saya mulai membaca;

'Dear Yoyo. Thank you for being my friend. You are really like a daughter to me. I miss you. I miss the laughter. You have given me the belief that love really exists. Love you forever, Pretty Face. Raoul.'

"Huhuhuhu...." Tangis saya semakin keras dan sayup-sayup saya juga mendengar tawa Raoul di sela-sela suara debur ombak sebelum akhirnya hilang terbawa deru angin pantai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun