"Kamu pernah merasa kalau dunia ini terlalu keras untuk kita?" tanya Dina suatu malam ketika mereka duduk di pinggir jalan, berbagi sebungkus nasi uduk plus gorengan bakwan.
Adit mengangguk. "Sering. Tapi, aku percaya kalau kita tetap berusaha, pasti ada jalan."
Dina tersenyum lemah. "Aku ingin percaya itu."
Lama-kelamaan, Adit mulai menyadari bahwa perasaan hangat mengalir setiap kali dia bersama Dina. Kehadirannya membawa sedikit kebahagiaan di tengah kehidupannya yang serba sulit. Namun, Adit merasa tidak pantas. Dia hanya seorang pengamen jalanan, sementara Dina tampak seperti seseorang yang bisa mendapatkan kehidupan lebih baik.
Suatu malam, Adit memberanikan diri bercerita kepada Dina tentang keinginannya untuk pulang kampung. "Aku rindu ibu, Din. Sudah tiga tahun aku tidak melihatnya. Tapi aku tidak punya cukup uang untuk ongkos."
Dina terdiam, menatap gitar tua Adit yang sudah mulai kusam. "Apa kamu tidak pernah mencoba menabung?"
"Aku mencoba. Tapi hasilnya selalu habis untuk biaya hidup di sini. Aku bahkan pernah berpuasa beberapa hari agar uangku cukup, tapi tetap saja gagal," jawabnya jujur.
Dina tergerak mendengar cerita Adit. "Kalau kamu ingin pulang, kita cari cara bersama-sama. Mungkin aku bisa bantu."
Adit terkejut sekaligus tersentuh. "Kenapa kamu mau membantu aku? Kita kan baru kenal."
Dina hanya tersenyum kecil. "Karena aku tahu rasanya ingin pulang tapi tidak bisa."
Dina punya ide untuk membantu Adit mengumpulkan uang. Mereka akan membuat pertunjukan kecil di taman kota, memanfaatkan akhir pekan yang biasanya ramai. Dina akan membantu mempromosikan acara itu melalui teman-temannya, sementara Adit akan tampil menyanyi.