Kedua, motivasi dan tujuan tiap individu untuk mendapatkan dan/atau menyebarkan informasi tidak tunggal. Banyaknya, bisa sebanyak individu yang terus berseliweran, bahkan bertubrukan. Motivasi dan tujuan para pebisnis online, berbeda dengan orang tua, guru, polisi, intelijen, agen mata-mata, pencuri, preman, begal, anak muda yang lagi pacaran, dan seterusnya.
Yang menggunakannya secara baik dan konstruktif, banyak. Mungkin lebih banyak dari pada mereka yang menggunakannya secara negatif dan destruktif bagi kepentingan bersama.
Tapi jangan lupa, ketika yang lebih sedikit itu dikelola secara sistematis dan terus-menerus ditumpahkan di media sosial, maka pengaruhnya sangat dahsyat. Bisa menipu dan menyesatkan begitu banyak orang. Itulah yang terjadi cukup lama dalam proses Pemilu, yang memuncak pada aksi kerusuhan 21-22 Mei.
Diakui bahwa membuat regulasi semacam itu tidak segampang mengayakannya. Butuh pemikiran dan mungkin penelitian sebagai dasar penyusunan naskah akademik. Namun, kita juga perlu tetap ingat bahwa para ahli di bidang ini begitu banyak di negara kita, baik di perguruan tinggi, di lembaga-lembaga penelitian maupun individu yang tersebar di berbagai tempat. Keahlian individu-individu tersebut perlu dikelola sebaik-baiknya oleh pemerintah.
Aplikasi perusak
Selain regulasi, tampaknya ada cara dan bentuk lain yang bisa mencegah penyebaran informasi hoax atau yang menyesatkan publik, yakni suatu aplikasi komputer maupun telepon pintar. Wilayah kerjanya meliputi foto, video, gambar, meme, sketsa, maupun tulisan yang menyertainya yang biasanya diunggah di media sosial.
Sependek pengetahuan saya, aplikasi semacam itu belum ada. Oleh sebab itu, para ahli di bidang IT ditantang untuk menciptakannya demi kepentingan bersama. Kemampuan yang diharapkan dari aplikasi itu setidaknya dua. Pertama, kemampuan mendeteksi dan kedua kemampuan merusak.
Sistem kerjanya kurang lebih begini. Pada saat disebarkan, aplikasi tersebut mendeteksi keaslian foto, video, gambar, atau lainnya, termasuk keterangan awal dan jejak digital asli yang kemudian diselewengkan oleh individu tetrentu untuk tujuan buruk. Jika hasil deteksi ternyata bertentangan dengan aslinya, baik berdasarkan keterangan gambar atau jejak digitalnya, maka secara aplikasi otomatis merusaknya sebelum sampai pada alamat yang dituju.
Sebagai awam, saya membayangkan proses kerjanya seperti berikut. Di salah satu media, terdapat foto seorang tokoh politik yang duduk berdampingan dengan seorang artis. Foto diambil pada acara perayaan ulang tahun kemerdekaan RI. Pada saat lain, ada orang iseng yang mengugah kembali foto tersebut dengan membuat keterangan hoax yang mendiskreditkan sang tokoh politik maupun sang artis. Â
Yang terbayang, aplikasi tersebut langsung bisa mendeteksi jejak digital yang menujukkan penyimpangan. Mulai dari foto awal sampai unggahan ulang dengan keterangan baru atau tambahan dari hasil rekayasa, tapi hoax. Setelah terdeteksi lengkap, secara otomatis aplikasi bekerja merusak foto tadi sebelum sampai pada alamat yang dituju.
Model sederhananya adalah deteksi kata tertentu yang bisa langsung diblokir oleh google pada blog apabila si pemilik mengatur blok dengan setingan blokir otomatis. Tentu saja aplikasi itu lebih rumit, namun apa yang rumit dalam pandangan awam tak lebih dari sebuah tantangan bagi seorang ahli.
Ayo para ahli IT di mana engkau? Datanglah, bangsa Indonesia menunggumu! ***