Mohon tunggu...
Yosafati Gulö
Yosafati Gulö Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Warga negara Indonesia yang cinta kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Regulasi Pembatasan Media Sosial dan Aplikasi Penghancur Hoaks

31 Mei 2019   19:55 Diperbarui: 31 Mei 2019   20:42 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://www.suara.com/

Banyak yang tahu bahwa hak asasi adalah hak dasar tiap individu. Bukan pemberian penguasa atau negara. Karena itu, hak asasi tidak boleh dirampas oleh siapa pun, termasuk negara. Juga tak boleh dialihkan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan alasan apa pun.

Ketika pemerintah membatasi penggunaan media sosial gara-gara kerusuhan 21-22 Mei 2019, pro-kontra pun muncul. Banyak yang marah. Alasannya, hak asasi mereka dalam memeroleh informasi dianggap telah dilanggar oleh negara. Dirampas oleh pemerintah. Dasar argumen mereka adalah ketentuan Pasal 28F UUD 1945 tentang "...hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi..."

Ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE yang dipakai pemerintah sebagai dasar kebijakan ditampik. Terutama mereka yang menjalankan bisnis online. Mereka biasanya memromosikan barangnya dengan mengirimkan foto atau video sangat terganggu. Mereka kehilangan banyak kesempatan. Mereka seolah dijadikan korban atas ulah orang lain.

Syukur bahwa pembatasan tersebut tidak lama. Tidak sampai menimbulkan demonstrasi yang mencemaskan banyak pihak. Kalau saja pembatasan itu tidak segera dicabut, bukan tidak mungkin muncul gejolak baru, yang juga bisa dimanfaatkan oleh siapa saja yang suka memancing di air keruh.  

Pertanyaannya, apakah pembatasan media sosial tetap perlu dilakukan apabila situasi seperti kerusuhan 21 dan 22 Mei?

Secara tersamar Kompasiana menjawab bisa saja. Cuma tidak boleh main babat. "Pemerintah mesti lebih menyiapkan regulasi yang jelas dan tegas guna membatasi penggunaan media sosial", saran Kompasiana.

Keadaan genting

Saya sendiri setuju saran itu. Pada saat genting, dalam keadaan atau menjurus kacau, chaos, apalagi kalau secara jelas dipicu oleh media sosial, pemerintah berkewajiban melakukan pembatasan berdasarkan resgulasi yang jelas, tega, dan terukur.

Ada beberapa alasan. Pertama, hak untuk mendapatkan dan/atau menyebarkan informasi dalam berbagai bentuk sama saja dengan hak asasi yang lain yang mustahil bisa diwujudkan semurni-murninya dan sepenuh-penuhnya. Menggunakan hak asasi sebebas-bebasnya oleh individu atau kelompok pasti menubruk kebebasan orang lain.

Umpamanya, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Itu termasuk hak asasi tiap individu yang tak boleh dirampas oleh siapa pun. Namun, jangan diartikan bahwa hak asasi di bidang ini identik dengan kebebasan untuk bisa mengawini atau dikawini oleh siapa saja dan di mana saja dengan cara tipu-tipu sehingga semuanya bisa terlaksana mulus dan tampak sah. Untuk mencegah hal itu maka perlu pembatasan seperti diatur dalam UU Perkawinan.

Contoh lainnya adalah hak untuk memenuhi kebutuhan hidup dan berusaha. Jangan gara-gara adanya hak asasi di bidang ini seseorang menyerobot tanah orang yang tak terpantau pemilik untuk bertani, bersawah, atau berkebun. Itu namanya menggunakan hak dengan cara melanggar hak orang lain. Menguasai tanah orang lain tanpa hak. Melawan hukum.

Kedua, motivasi dan tujuan tiap individu untuk mendapatkan dan/atau menyebarkan informasi tidak tunggal. Banyaknya, bisa sebanyak individu yang terus berseliweran, bahkan bertubrukan. Motivasi dan tujuan para pebisnis online, berbeda dengan orang tua, guru, polisi, intelijen, agen mata-mata, pencuri, preman, begal, anak muda yang lagi pacaran, dan seterusnya.

Yang menggunakannya secara baik dan konstruktif, banyak. Mungkin lebih banyak dari pada mereka yang menggunakannya secara negatif dan destruktif bagi kepentingan bersama.

Tapi jangan lupa, ketika yang lebih sedikit itu dikelola secara sistematis dan terus-menerus ditumpahkan di media sosial, maka pengaruhnya sangat dahsyat. Bisa menipu dan menyesatkan begitu banyak orang. Itulah yang terjadi cukup lama dalam proses Pemilu, yang memuncak pada aksi kerusuhan 21-22 Mei.

Diakui bahwa membuat regulasi semacam itu tidak segampang mengayakannya. Butuh pemikiran dan mungkin penelitian sebagai dasar penyusunan naskah akademik. Namun, kita juga perlu tetap ingat bahwa para ahli di bidang ini begitu banyak di negara kita, baik di perguruan tinggi, di lembaga-lembaga penelitian maupun individu yang tersebar di berbagai tempat. Keahlian individu-individu tersebut perlu dikelola sebaik-baiknya oleh pemerintah.

Aplikasi perusak

Selain regulasi, tampaknya ada cara dan bentuk lain yang bisa mencegah penyebaran informasi hoax atau yang menyesatkan publik, yakni suatu aplikasi komputer maupun telepon pintar. Wilayah kerjanya meliputi foto, video, gambar, meme, sketsa, maupun tulisan yang menyertainya yang biasanya diunggah di media sosial.

Sependek pengetahuan saya, aplikasi semacam itu belum ada. Oleh sebab itu, para ahli di bidang IT ditantang untuk menciptakannya demi kepentingan bersama. Kemampuan yang diharapkan dari aplikasi itu setidaknya dua. Pertama, kemampuan mendeteksi dan kedua kemampuan merusak.

Sistem kerjanya kurang lebih begini. Pada saat disebarkan, aplikasi tersebut mendeteksi keaslian foto, video, gambar, atau lainnya, termasuk keterangan awal dan jejak digital asli yang kemudian diselewengkan oleh individu tetrentu untuk tujuan buruk. Jika hasil deteksi ternyata bertentangan dengan aslinya, baik berdasarkan keterangan gambar atau jejak digitalnya, maka secara aplikasi otomatis merusaknya sebelum sampai pada alamat yang dituju.

Sebagai awam, saya membayangkan proses kerjanya seperti berikut. Di salah satu media, terdapat foto seorang tokoh politik yang duduk berdampingan dengan seorang artis. Foto diambil pada acara perayaan ulang tahun kemerdekaan RI. Pada saat lain, ada orang iseng yang mengugah kembali foto tersebut dengan membuat keterangan hoax yang mendiskreditkan sang tokoh politik maupun sang artis.  

Yang terbayang, aplikasi tersebut langsung bisa mendeteksi jejak digital yang menujukkan penyimpangan. Mulai dari foto awal sampai unggahan ulang dengan keterangan baru atau tambahan dari hasil rekayasa, tapi hoax. Setelah terdeteksi lengkap, secara otomatis aplikasi bekerja merusak foto tadi sebelum sampai pada alamat yang dituju.

Model sederhananya adalah deteksi kata tertentu yang bisa langsung diblokir oleh google pada blog apabila si pemilik mengatur blok dengan setingan blokir otomatis. Tentu saja aplikasi itu lebih rumit, namun apa yang rumit dalam pandangan awam tak lebih dari sebuah tantangan bagi seorang ahli.

Ayo para ahli IT di mana engkau? Datanglah, bangsa Indonesia menunggumu! ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun